OPINI  

Asosiasi Ziarah Walisongo Bentukan 75 Ponpes NU Lampung Manfaatkan KUR untuk Wujudkan Kemandirian Ekonomi

Gindha Ansori Wayka

WARTAMU.ID, Lampung – Dalam rangka percepatan pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia terus menggulirkan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Salah satu keberhasilan implementasi program ini tampak di Provinsi Lampung, melalui penyaluran KUR oleh Bank DKI Syariah Cabang Lampung kepada 75 Pemilik/Pengurus/Pengelola Pondok Pesantren NU.

Sejak resmi diluncurkan pada 5 November 2007, KUR hadir sebagai solusi pembiayaan usaha bagi individu maupun kelompok yang belum bankable, sebagai tindak lanjut dari Inpres Nomor 6 Tahun 2007 dan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. Dana KUR digunakan untuk modal kerja atau investasi usaha produktif.

Di Lampung, salah satu bentuk pemanfaatan KUR yang inspiratif diwujudkan oleh para pengelola pondok pesantren NU dengan membentuk Asosiasi Ziarah Walisongo. Asosiasi ini menghimpun 75 pesantren yang secara bersama-sama menggunakan pinjaman KUR untuk membentuk usaha jasa wisata ziarah Walisongo ke Pulau Jawa—sebuah tradisi kultural yang telah mengakar kuat dalam komunitas NU.

Asosiasi ini kemudian berhasil membeli tiga unit Bus Eksekutif Pariwisata yang diberi nama Jasa NU Nusantara, guna melayani jamaah dan santri yang melakukan wisata religi ke makam para wali. Ini menjadi langkah terobosan dalam pemanfaatan pembiayaan KUR, yang tidak hanya memperkuat ekonomi pesantren, tetapi juga menjawab kebutuhan umat akan transportasi yang aman dan terjangkau.

Ketua asosiasi menyampaikan bahwa pembentukan badan usaha bersama ini dilakukan untuk memastikan keberlangsungan usaha dan kemampuan pengembalian cicilan pinjaman secara kolektif. “Setiap bulan kami melakukan cicilan dengan lancar. Bahkan beberapa sudah memasuki angsuran ke-14, dan semua berjalan baik,” ujar salah satu perwakilan pondok pesantren.

Namun, keberhasilan ini tidak luput dari tantangan. Beberapa LSM di Lampung melakukan aksi demonstrasi, menuding adanya penyimpangan dalam penggunaan KUR yang diklaim tidak sesuai dengan aturan. Tudingan tersebut dinilai tidak berdasar dan berpotensi sebagai upaya menggiring opini publik secara sepihak.

Padahal, tidak ada larangan dalam peraturan yang mengatur bahwa penggunaan dana KUR harus dilakukan secara individu. Pembentukan badan usaha kolektif seperti Asosiasi Ziarah Walisongo justru merupakan bentuk inovasi dan efisiensi dalam pengelolaan usaha serta meminimalkan risiko kredit macet.

BACA JUGA :  Aplikasi Digital SMEsHub Dorong Generasi Muda Gali Potensi UMKM Parekraf

Bank DKI Syariah Cabang Lampung sendiri menyatakan bahwa seluruh proses pengajuan KUR oleh 75 pondok pesantren NU tersebut telah sesuai prosedur. “Bank tidak pernah mengintervensi usaha nasabah. Yang terpenting adalah kemampuan membayar cicilan dan tidak terjadi kredit macet,” ujar perwakilan Bank DKI Syariah.

Kisah sukses Asosiasi Ziarah Walisongo ini menjadi bukti bahwa program KUR bisa menjadi instrumen nyata dalam menciptakan kemandirian ekonomi berbasis komunitas keagamaan. Langkah strategis ini diharapkan mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat, agar tidak terjadi kriminalisasi atas upaya produktif dan sah yang dilakukan oleh masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas pembiayaan dari negara.

Pemerintah juga sedang merencanakan KUR senilai Rp 130 triliun untuk sektor perumahan, menandakan bahwa ruang penggunaan KUR sangat luas, selama tidak menyimpang dari ketentuan hukum dan tetap menjunjung prinsip kehati-hatian dalam pembiayaan.

Keberadaan Jasa NU Nusantara yang dikelola oleh Asosiasi Ziarah Walisongo patut menjadi contoh nasional bahwa kredit tanpa agunan bisa membuahkan hasil signifikan, terutama ketika dilandasi niat baik, strategi usaha yang matang, dan semangat kolektif. Ini bukan hanya soal pembiayaan, tapi bentuk nyata dari kebangkitan ekonomi berbasis pesantren dan nilai-nilai kemandirian umat.