WARTAMU.ID, Semarang (Jawa Tengah) – KH Tafsir menawarkan rumusan pengalaman tajdid bagi warga Muhammadiyah. Hal ini beliau sampaikan melalui Pemaparan Disertasi, yang dilaksanakan saat Sidang Terbuka Promosi Doktor Studi Islam, Universitas Islam Negeri Walisongo, pada Jumat 4 Februari 2022 pukul 13.00 WIB s.d Selesai.
Dalam pemaparan Disertasinya yang berjudul “Dinamika Purifikasi Muhammadiyah di Jawa Tengah”, beliau menyampaikan terkait Dinamika Perkembangan Islam di Tubuh Muhammadiyah yang muncul di berbagai dialektika pada tubuh umat Islam, termasuk Muhammadiyah. Abdul Munir Mulkhan sebagaimana dikutip oleh KH. Tafsir di dalam disertasinya, yaitu memperoleh empat model pengikut (jama’ah) Muhammadiyah, diantaranya yang Pertama Al Ikhlas, yaitu Kelompok Jama’ah Muhammadiyah yang mengamalkan Islam murni secara konsisten dan fundamentalis sesuai dengan buku Tarjih. Kedua, Model Kiai Dahlan, yaitu kelompok ini hampir mirip dengan model pertama, namun jama’ahnya lebih toleran dengan takhayul, bid’ah, dan chufarat (TBC). Ketiga, Munu, yaitu kelompok neo-tradisionalis, yakni jama’ah Muhammadiyah yang ke-NU-NU-an. Dan yang Keempat, Marmud (Marhaen Muhammadiyah), yaitu jama’ah yang lebih terbuka, sinkretis, dan pragmatis.

KH Tafsir mengatakan bahwa “Purifikasi ini tidak dianggap salah, tapi butuh reformulasi dan formulasi yang dapat lebih konferensif dan utuh, serta bukti bahwa budaya tidak dapat dilepas dari proses paham agama. Purifikasi ini juga butuh Reorientasi, Reinterpretasi, dan Reformulasi”. Sehingga beliau menawarkan Muhammadiyah sudah butuh untuk membuat risalah akademik, desain operasional bagaimana langkah purifikasi yang saat ini belum ada.
Beliau juga menjelaskan bahwa tajdid itu sendiri memiliki dua makna. Yang Pertama, Pemurnian, dan yang Kedua, Peningkatan, Pengembangan, serta Modernisasi.
Upaya tajdid selama ini dipahami sebagian masyarakat Islam, khususnya Muhammadiyah sebagai gerakan pemberantas TBC. Akan tetapi, KH Tafsir menyampaikan bahwa hal tersebut perlu adanya pengkajian ulang tentang konsepsi tajdid yang di dalam masyarakatnya cenderung digunakan untuk mencoret, mengecam, bahkan upaya penyingkiran akar budaya di tengah masyarakat.
Dengan hal ini, KH. Tafsir menyampaikan bahwa perlu adanya penjelasan keilmuan sosial dan budaya dalam praktik implementasi konsepsi tajdid, supaya masyarakat tidak serta merta membid’ahkan seluruh kebiasaan masyarakat yang disinyalir terdapat serpihan TBC di dalamnya. (Aisyah MP)