WARTAMU.ID – Masyarakat publik maupun netizen sering kali tidak memahami konteks terhadap tupoksi atau tugas pokok dan fungsi dari institusi maupun para pemimpin serta pejabat publik. Asal kritik dan asal berkomentar yang sifatnya justru omong kosong dan tidak konstruktif bahkan menjerus pada fitnah sekaligus cacian yang tidak esensial. Antara yang dikritik maupun orang yang dikritik pun malah jauh, sedangkan para pemimpin, pejabat dan tokoh yang sedang mengemban amanah sebagai pejabat publik lah yang semestinya dikritik terhadap kinerjanya bukan malah orang-orang yang bukan mengembang amanah kepemimpinan publik. Bahkan simpatisan atau para pendukung pejabat publik ini sangat fanatik, sehingga anti kritik dan dianggap sebagai pelaku ujaran kebencian, kaum radikal serta fitnah. Aneh tapi nyata, peradaban manusia yang semakin bergeser tanpa makna akibat dari imoralitas yang merajalela dan degradasi kepemimpinan akibat dari hasil polesan yang tidak lagi otentik alias semua diatur dengan dikemas sedemikian rupa layaknya lakon sandiwara teater suatu drama. Masyarakat publik dan netizen mulai bergeser nilai sosial dan nilai aktivis dalam dirinya yang pada akhirnya terjebak pada narasi bungkus kemesan bukan isi dalam kemesan tersebut.
Semestinya bagi para aktivis sosial, aktivis sosial media dan aktivis keadilan penggerak demonstrasi menyadari bahwa para pemimpin publik, pejabat publik dan pemerintahan itu harus diawasi, dikontrol, dan dikritik terhadap kekurangan dan kelemahan. Namun tidak pula cepat puas hati terhadap hasil kinerja pejabat publik, sebab akan selalu ada kelemahannya yang ditutupi oleh para pejabat publik. Ini yang dinamakan masyarakat peduli pemerintahan demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi etika dan moralitas harus dijaga, sehingga yang dikritik ialah kinerjanya bukan justru pribadinya. Sentimen terhadap kinerja pejabat publik itu bernilai positif sedangkan sentimen terjadap pribadi atau privasi pejabat publik itu sangat negatif. Hal yang aneh yang sering didapat khusus bagi masyarakat sosial media ialah banyak kritikan yang dillontarkan justru kepada orang-orang atau tokoh yang bukan pejabat publik, artinya kepada orang-orang yang sedang tidak mengemban amanah bahkan bukan pelaku pemerintahan bukan praktisi publik. Hal tersebutlah akhirnya membuat para pejabat publik merasa diuntungkan sehingga memproduksi buzzer alias mesin sosial media untuk menyerang orang-orang yang mengkritiknya sehingga para aktor pejabat publik layaknya seorang yang suci, anti kritik, otokritik dan sangat represif. Nalar publik semakin lemah dan jatuh ke jurang nalar pembelaan serta pencitraan semata.
Kritik terhadap pejabat publik itu adalah bagian dari demokrasi untuk melihat kinerja dan hasil pemimpinnya yang telah dimandatkan serta dipercayakan untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Berapa banyak para aktivis yang vokal, yang lantang bersuara, yang menjadi aktor kritik bahkan sebagai pengawas pemerintahan diluat struktural pemerintahan menjadi bulan-bulanan yakni menjadi tersangka diseret sehingga terjadi pembungkaman terhadap para aktivis. Pejabat publik itu ialah penguasa pemerintahan yang memiliki kekuatan secara hukum dan institusi sehingga penyalahgunaan kekuasan tentu sangat rentan. Tugasnya ialah memberikan pelayanan terhadap publik demi memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian. Mengayomi seluruh elemen dan kalangan tidak berlaku diskriminatif apalagi Interventif terjadap yang tidak sejalan. Bila tidak adalagi suara dan vokal kritik terhadap pejabat publik, maka potensi penguasa tirani, otoriter dan fasis akan mewabah di setiap institusi pemerintahan publik yang tugasnya untuk melayani publik.
Lihatlah bertapa menyedihkan negeri ini, justru kritik dan hujatan tertuju kepada tokoh nasional diluar pemerintahan atau orang yang tidak mengemban amanah sebagai pejabat publik atau bahkan kepada para aktivis yang vokal penegak keadilan dan pengawal kesejahteraan publik. Sehingga masyarakat kehilangan keberanian sebagai bentuk pondasi demokrasi yang ditakut-takuti oleh penguasa dengan instrumen negara dan institusi negara. Seolah-olah pejabat publik adalah raja yang sangat berkuasa dan tidak dapat disentuh dengan apapun. Publik dan masyarakat menjadi buta bahkan dibutakan dalam berdemokrasi sehingga menghilangkan akal sehat, nalar publik dan kontrol publik atas penguasa sebagai pejabat publik. Justru masyarakat dan netizen kebbanyakan jumlah dan volumenya ialah sebagai tameng penguasa, benteng pertahanan penguasa, buzzer penguasa, supporter penguasa bahkan pasukan pembela penguasa yang tidak boleh dikritik atau didemonstrasikan. Justru yang ada dipaksa menerima pencapaian hasil kinerja dan penyambung lidah penguasa bukan lagi penyambung lidah rakyat terhadap penguasa dalam hal ini merekalah yang menjadi aktor pejabat publik.
Tentu nilai-nilai perjuangan demokrasi di ranah aktivis sosial dan aktivis sosial media mulai luntur serta hilang dalam perjuangan suara-suara kebenaran melalui kritikan dan saran bahkan masukan. Pejabat publik bukanlah Tuhan yang seolah-olah menjadi penguasa mutlak atas mandat rakyat yang telah memilihnya bukan pula nabi pemerintahan yang membawa risalah kebenaran mutlak pula serta bukan pahlawan pengusir penjajah yang darah, nyawa, harta, benda dan keluarganya dikorbankan. Karena yang ada semuanya akan didapat oleh pejabat publik sebagai bentuk fasilitas dan instrumen pejabat publik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pergeseran nilai semakin hari semakin merosot dan jatuh pada ketidakadilan. Sehingga barang siapa yang justru vokal dan lantang pasang badan dan lantang bersuara secara vokal membela membenarkan, serta mendukung secara mutlak terhadap penguasa pejabat publik maka amanlah hidupnya nyamanlah aktivitasnya bahkan berlimpahlah pendapatannya. Sehingga barisan pengawas pejabat publik akan hilang dan pudar serta dibully rame-rame oleh buzzer pejabat publik maupun ditekan rame-rame oleh pasukan pembela pejabat publik yang sifap untuk menerumuskan ke ranah hukum, penjara dan pembunuhan karakter. Hilanglah semua akal sehat dan hilanglah kebenaran melalui paradigma rakyat tentunya kehilangan kebenaran melalui kaca mata rakyat kecil rakyat lemah. Merajalelalah semua kebohongan dan semua kediktatoran para pejabat publik di setiap institusi strategis yang mengemban amanah rakyat yang terbaikan.
As’ad Bukhari, S.Sos., MA.
(Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik)
Artikel ini merupakan kiriman pembaca wartamu.id. (Terimakasih – Redaksi)