BNPB: 1.713 Bencana Terjadi Sejak Awal 2025, Jawa Tengah Masuk Tiga Besar Daerah Terbanyak

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto

WARTAMU.ID, Karanganyar, 26 Juni 2025 — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2025 hingga 23 Juni, telah terjadi 1.713 kejadian bencana di seluruh wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, Jawa Tengah menempati posisi ketiga terbanyak dengan 162 kejadian, setelah Jawa Barat (243 kejadian) dan Jawa Timur (199 kejadian).

Pernyataan tersebut disampaikan Suharyanto saat menghadiri Jambore Nasional ke-3 Relawan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Wonder Park, Tawangmangu, Karanganyar, Kamis (26/6/2025).

“Untuk Jawa Tengah, saya masih ingat, dari Januari sampai Juni ini banyak bencana di Kudus dan Sayung, Demak, tapi pemerintah provinsi belum teriak ke BNPB. Gubernur bisa atasi sendiri,” ujar Suharyanto sambil mengapresiasi ketangguhan pemerintah daerah.

Suharyanto menekankan bahwa ketangguhan daerah adalah kunci utama dalam menghadapi potensi bencana. Dari data nasional, sekitar 92% bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir dan cuaca ekstrem. Sementara itu, 7% merupakan bencana hidrometeorologi kering seperti kekeringan dan kebakaran hutan/lahan, dan 1% adalah bencana geologi dan vulkanologi seperti gempa bumi dan letusan gunung api.

Ia mengingatkan bahwa tren bencana di Indonesia masih sangat tinggi, dengan rata-rata 20–25 kejadian bencana per hari. Dalam empat tahun terakhir, tidak pernah ada tahun dengan jumlah bencana di bawah 3.500 kejadian.

Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jawa Tengah Komjen Pol (Purn) Drs. Ahmad Luthfi mengakui bahwa wilayahnya memang menjadi salah satu daerah dengan risiko bencana tertinggi di Indonesia.

“Bencana apa saja, di sini ada. Air, rob, dan banjir tidak bisa kita lawan, tapi bisa dicegah,” ujarnya. Luthfi bahkan menyebut Jawa Tengah sebagai ‘market bencana nasional’ karena tingginya jenis dan jumlah kejadian bencana di wilayah tersebut.

Berdasarkan data dari BPBD Jawa Tengah, dalam kurun waktu 1 Januari hingga 31 Mei 2025, terjadi 152 bencana, yang terdiri dari 86 banjir, 17 tanah longsor, 42 cuaca ekstrem, 1 kebakaran hutan dan lahan, serta 6 kebakaran pemukiman.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Gubernur menegaskan bahwa mitigasi menjadi prioritas utama. Beberapa strategi yang diterapkan meliputi:

  • Normalisasi sungai

  • Program “Mageri Segoro” melalui penanaman mangrove secara besar-besaran di pesisir

  • Pengurangan penggunaan air tanah untuk mencegah penurunan muka tanah

  • Pemanfaatan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan teknologi desalinasi air laut

“Kami dorong masyarakat beralih ke SPAM. Kami juga mulai gunakan teknologi desalinasi. Kalau tidak dikendalikan, penurunan tanah makin parah,” ungkapnya.

Secara geografis, Jawa Tengah memiliki kompleksitas tinggi. Wilayah ini terbentang dari Pegunungan Kendeng hingga Perbukitan Rembang, serta memiliki variasi topografi dari dataran tinggi hingga kawasan pesisir. Faktor iklim tropis dan curah hujan yang tidak merata memperbesar risiko bencana.

Berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2024, Jawa Tengah masuk kategori risiko sedang dengan nilai indeks 99,61. Namun, karena tingkat kerentanan yang tinggi serta struktur geologis yang kompleks, potensi peningkatan risiko tetap perlu diwaspadai.

Untuk itu, Luthfi menekankan pentingnya edukasi kebencanaan secara menyeluruh, mulai dari desa hingga tingkat provinsi. Ia juga menyebut bahwa peran relawan sangat vital dalam upaya tanggap darurat dan penyelamatan korban bencana.

“Relawan adalah unsur utama. Kita akan bentuk lebih banyak kader tanggap bencana yang siap dari desa hingga provinsi,” tegasnya.

Jambore Nasional ke-3 Relawan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang turut dihadiri oleh para tokoh nasional ini menjadi momentum strategis untuk memperkuat jejaring relawan dan meningkatkan kesadaran kolektif dalam menghadapi tantangan kebencanaan secara terpadu dan berkelanjutan.