WARTAMU.ID – Tabik pun, nabik tabik. tabik di kuti rumpok, Sikandua haga numpang cawa. Cawa puuuuun.
Ketua PWI Itu Amanah, Bukan Prestise!
Saat-saat ini di komunitas insan pers Lampung mulai marak beredar nama-nama yang disebut-sebut, juga menyebut diri, siap untuk jadi Ketua PWI Lampung.
Ketua organisasi profesi wartawan tertua, terbesar dan paling bergengsi yang mewadahi insan-insan pers di sini. Saat ini Ketua PWI-nya, Supriyadi Alfian.
Nama yang beredar? Iskandar Zulkarnain, Nizwar Ghazali, Wirahadikusumah, Juniardi, Herman Batin Mangku dll.
Kesemuanya nama-nama wartawan senior, punya citra wartawan yang kuat serta tentu saja asumsi kapasitas, kapabilitas dan integritas untuk mengayomi 600-an anggota PWI masih ditambah lagi ribuan wartawan yang belum jadi anggota karena masih anggota muda, anggota luar biasa atau calon anggota.
Jadi Ketua PWI itu otomatis didapuk jadi bapaknya wartawan di Lampung. Amanah yang besar. Buat banyak orang semacam prestise, bergengsi sekali.
Jangan Pilih Calon Ketua yang Bukan Wartawan
Yang pantas jadi Ketua PWI, ketua organisasi wartawan, ya wartawan. Dia yang memahami persis atmosfer, dinamika, potensi dan terutama kepentingan profesi baik dalam konteks marwah juga soal periuk nafkah.
Ketua PWI yang bergengsi dan suka diundang-undang pejabat itu mulutnya harus jadi penyambung aspirasi.
Wartawan sekarang galau karena dunia berubah. Ketua PWI lah yang kudu berpikir paling komprehensif untuk kemudian meneriakkan keras-keras ke kuping semua pemangku kepentingan.
Kalau Ketua PWI-nya bukan wartawan, mana paham dia untuk membawa bahtera besar ini menggantang perubahan jaman.
Apalagi kalau Ketua PWI sampai punya mental pokrol gaya makelar. Otaknya bakal keruh dan hanya melihat komunitas insan pers sebagai komoditas jualan.
Kalau ada yang mau jadi Ketua PWI cuman untuk mengutip jatah preman, paket PL apalagi sekadar parlente kelas teri, jangan dipilih. Pilih Ketua PWI yang wartawan, yang benar-benar mampu berjuang untuk menjaga marwah profesi.
Ketua PWI Jangan Jadi Centeng-Jongos
Oke, kita sekarang bikin daftar prioritas kualifikasi seorang Ketua PWI. Kita mau seorang ketua yang paling pertama harus apa? Berikutnya, harus apa lagi dengan parameter terukur dimana kualifikasi itu punya poin yang bisa diakumulasikan sehingga calon yang bijinya paling gede jadi yang paling pantas.
Ada kawan yang nyeletuk, “Ketua PWI kudu deket dengan gubernur, walikota dan bupati! Tambah lagi, Bung. Ketua PWI kudu akrab sama bos-bos dan pengusaha!”
Dekat dengan sumbu kekuasaan dan sumbu kekayaan tentu saja enak. Bisa bikin berkuasa, bisa bikin kaya raya. Boleh-boleh saja faktor itu jadi salah satu yang diperhitungkan.
Tapi coba dipikir lagi lebih mendalam. Kalau kedekatan itu hanya dipergunakan untuk masuk ke dalam lingkar kekuasaan atawa menumpuk pundi pribadi, maka ketua model begini pasti jadi lalim, keji, bengis dan kacrut.
Organisasi Profesi kudu mampu memberi nilai tambah buat anggota-anggotanya. Ketuanya harus mampu membuat anggota-anggotanya lebih baik, lebih cerdas, lebih sejahtera. Bukan cuman bangik sendiri.
Dekat itu artinya dia punya akses untuk menjadi penyambung lidah. Tapi, jangan jadi jongos penguasa. Jangan sampai bapaknya wartawan se-Lampung malah jadi centeng para pejabat dan bos-bos buat menindas wartawan!
Ini Era Baru, yang Kolot Mohon Sadar Diri
Tiga tulisan sebelumnya dari serial tulisan ini, walau tidak terlalu mengejutkan, banyak direspon dengan ragam sikap yang warna-warni.
Ada beberapa senior yang sudah duduk di jabatan elite, sobat-sohib yang walau bukan wartawan tapi kawan wartawannya banyak nian, adik-adik yang masih berkelindan dengan riuh-rendahnya situasi liputan dan beberapa kawan lain yang sama merespon dengan antusias.
Ada satu benang merah yang paling tidak bisa kutarik, nyaris semuanya sepaham kalau jurnalisme masa kini adalah era baru. Dimana-mana masa transisi, tentu ada saja kaum kolot yang bergeming. Mungkin sudah nyaman dengan suasananya atau terlanjur kaya raya utawi nyaman punya kuasa.
Wartawan dan perusahaan pers jaman sekarang beda dengan sepuluh, lima belas tahun lalu. Tapi posisinya tetap strategis. Banyak nian pihak-pihak yang akan terus mencoba menyelip-nyelipkan agenda. “Menguasai” rantai dan jalur informasi –walau jelas tidak mungkin absolut– adalah previlese yang sangat menggiurkan. Jangan sampai pers, organisasi profesi dan wartawannya dikooptasi.
Buatku, yang kolot mohon sadar diri. Perusahaan Pers tak akan pernah ideal jika menyusu kepada sumbu kekuasaan. Diorang juga kemana-mana bilang kalau pers itu mitra. Masak, kita yang ada di dalam komunitas ini masih enggan percaya diri kalau independensi adalah sebuah keniscayaan. Kalau tak lagi punya pi’il, hancurlah kita.
Kolot bukan berarti tua secara usia, tetapi kolot dalam pola pikir dan masih menganggap kalau relasi antara ketua-anggota adalah patron-klien. Apalagi kalau sampai punya pikiran, pers adalah alat untuk menggapai tujuan kotor.
Sudah waktunya PWI di Lampung dikomandani oleh anak muda dengan wawasan 4.0 yang progresif. PWI dan anggotanya kudu menjadi contoh karena wartawan itu profesi mulia. Jangan gadaikan marwah hanya untuk sekadar amplop apalagi membasah-basahi lidah untuk menjilat ke sesiapa yang menganggap wartawan itu nyamuk pengganggu.
Yang kolot mohon sadar diri, waktunya PWI jadi gerbong menyongsong era baru. Era disrupsi tapi jadi peluang besar untuk semakin menguatkan idealisme diri dan profesi.
Pernyataan terakhir, “Bung dolop mo nyalon Ketua PWI nggak?” Kalau yang nafsu-nafsu maju nanti cuma bakal bikin malu organisasi kita ini, usah heran nanti kalau besok itu aku bakal sedikit usil. Percaya deh! (*)
Tabik pun, nabik tabik. _Sikandua kilu mahap. NUmpang liyu puuuun. (bdl)