WARTAMU.ID, Lampung – “Momen hari pendidikan ini, diberbagai pelosok negeri, sekolah-sekolah menggelar upacara, para pejabat menyampaikan pidato, dan spanduk bertuliskan “Selamat Hari Pendidikan Nasional” menghiasi jalanan. Namun di balik gegap gempita itu, ada ironi yang sulit diabaikan: pendidikan kita belum sepenuhnya merdeka, dan justru semakin terjebak dalam ketimpangan sistemik.”
Meski sering mengusung resonansi semangat “merdeka belajar”, sistem pendidikan Indonesia hari ini masih jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara. Akses pendidikan berkualitas masih ditentukan oleh lokasi geografis dan latar belakang ekonomi. Di Provinsi Lampung, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, pada tahun 2024, rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 25 tahun ke atas tercatat sebesar 8,36 tahun, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di provinsi ini rata-rata hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMP.
Kondisi guru pun tak kalah mengkhawatirkan. Mereka adalah garda terdepan pendidikan, namun masih terbelenggu beban administrasi dan sistem yang tidak berpihak. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah menyoroti perlunya penyederhanaan beban administrasi guru. Mulai tahun 2025, segala bentuk administrasi akan dibuat lebih sederhana, agar tak ada lagi keresahan guru terkait hal tersebut. Padahal, guru seharusnya menjadi pemimpin pembelajaran, bukan petugas birokrasi.
H.O.S. Tjokroaminoto selalu meresonansikan pentingnya pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan bebas. Beliau menginginkan pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang berani berpendapat dan berani menentang ketidakadilan.
Dalam pandangan Tjokroaminoto, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membentuk pribadi yang utuh, berpengetahuan, berkarakter, beriman, dan mampu berkontribusi pada pembangunan bangsa. Beliau juga menekankan pentingnya pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai luhur dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Ironi terbesar adalah ketika pendidikan dikomersialkan. Sekolah-sekolah unggulan dan platform digital berbayar menjanjikan “masa depan cerah” dengan harga tinggi, sementara sekolah negeri di pelosok masih berkutat dengan kekurangan guru, bangku rusak, dan ruang kelas bocor. Pendidikan menjadi ladang bisnis, bukan hak dasar.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan panggung seremonial, tapi momentum refleksi dan gugatan. Gugatan terhadap sistem yang meminggirkan guru, menindas kreativitas siswa, dan membiarkan kesenjangan semakin menganga. Pendidikan adalah jantung masa depan bangsa. Jika jantung ini terus dibiarkan lemah, maka Indonesia ke depan akan tumbuh pincang.
“Sudah waktunya kita menagih tanggung jawab Pemerintah untuk benar-benar hadir. Terutama memberikan ruas Beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa, memberdayakan guru, dosen, tenaga pendidik, dan menempatkan peserta didik sebagai subjek utama, bukan objek statistik khususnya di Lampung. Kemudian permainan dana bos, sistem pungli yang marak, gratifikasi, serta nepotisme pendidikan yang pada hari ini harus betul-betul terselesaikan tanpa omon-omon angin surga.” Karena pada akhirnya, pendidikan yang adil dan memerdekakan adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan yang bermartabat dalam mengahadapi masa depan”, tandasnya.