WARTAMU.ID, Humaniora – “Mulai tanggal 1 Januari besok, Republika nggak terbit lagi, Kang,” ujar peloper koran langganan sambil berlalu. Benar juga kabar itu. Sebulan lalu, kawan lama di marketing Republika mengamini isu Republika cetak terakhir terbit di tahun ini. Kabar dari peloper koran memperkuat semuanya.
Selintas, tanda-tanda detik-detik terakhir terbitnya Republika cetak bisa dilihat di halaman pertama koran hasil ijtihad ICMI ini. Mulai dari judul Jurnalisme Telah Mati hingga memaparan digitalisasi media tak mungkin terelakkan. Padahal Republika, salah satu media di Indonesia yang telah lebih dulu masuk dalam platform internet dengan republika.co.id nya. Kini ia hadir lagi dalam platform premium republika.id.
Banyak kawan kerabat menyayangkan tak terbitnya lagi Republika. Ada yang emosional dengan meneteskan air mata, ada pula yang menghibur diri dengan kalimat, ya mau nggak mau media cetak harus bertransformasi dengan perkembangan zaman. Republika, mungkin jarang pembaca yang sengaja membeli ke tukang koran di terminal atau perempatan jalan. Mayoritas pembaca Republika adalah pelanggan tetap. Artinya, konsumen loyal yang dengan sepenuh hati, pikiran dan uang untuk membeli dan berlangganan secara tetap Republika. Karena mereka berlangganan, otomatis mereka membaca produk jurnalistik koran ini. Bahkan sampai iklan-iklannya pun dibaca.
Pernah terlontar lamunan Roni Tabroni, intelektual Muhammadiyah, andai saja, Muhammadiyah ‘membeli’ Republika, maka jurnalisme Islam akan tetap terjaga. Republika sebagai koran corong umat Islam senantiasa menjaga hubungan baik dengan semua institusi Islam di negeri ini. Bukan hanya organisasi masyarakat, tetapi dengan organisasi politik, ekonomi, budaya, hingga intelektual hubungan ini saling mengikat.
Republika dan umat Islam tidak bisa dipisahkan. Sebagai salah satu produk ijtihad ICMI di era kepemimpinan BJ Habibie, Republika merupakan pilar kebangkitan umat Islam Indonesia. Dua pilar lainnya adalah Bank Muamalat sebagai perintis bank syariah di Indonesia dan Asuransi Takaful sebagai sokoguru ekonomi dan sosial.
Hubungan ICMI dan Republika di era orde baru menjadi salah satu sebab mendekatnya Presiden Soeharto ke komunitas Islam. Takbiran ikonik Soeharto di Monas pada lebaran 1997 puncak Soeharto ingin memperlihatkan kepada rakyat Indonesia bahwa Beliau berada di barisan umat Islam. Tak lama kemudian jalinan hubungan baik ini tumbang. Sepertinya ada yang tidak suka bila Islam mulai masuk ke jalur kekuasaan.
Republika di era reformasi masih menjadi rujukan umat Islam. Dengan dibukanya kran kebebasan pers saat itu, lahir banyak media berhaluan Islam. Polarisasi ideologi media saat itu masih kentara. Media berhaluan kiri, kanan, tengah, kiri kekananan, kanan kekirian, tengah kekirian dan tengah kekananan terlihat dari sudut pandang pemberitaan. Hal ini menarik bagi mahasiswa Jurnalistik yang mengkaji pemberitaan media-media tersebut. Misalnya, penelitian yang dilakukan Isa Nur Zaman yang meneliti pemberitaan Kompas dan Republika dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir. Pertarungan ideologi media menarik minat para pembaca dan pemirsa. Sebelum motif bisnis merangsek menjadi ideologi semua media.
Republika yang mengambil nama dari percakapan platonil antara Plato dengan Socrates tentang negara dan keadilan. Bagi Plato negara (polis) tidak akan kuat bila tiga komponen pilarnya tidak tegak. Pemerintah (yang diisi para cendekiawan), militer dan ekonom. Ketiga pilar ini akan mewujudkan sebuah negara yang berkeadilan. Negara berkeadilan di saat Republika hadir di pertengahan 1990an berkorelasi dengan wacana masyarakat Madani. Term yang pertama dilemparkan oleh Anwar Ibrahim, yang sekarang menjadi perdana menteri Malaysia. Masyarakat Madani merupakan model masyarakat Kosmopolit di era Madinah. Era Rasulullah berdakwah pada masyarakat multikultural. Republika mengusung masyarakat Madani sebagai idea masyarakat yang dicita-citakan dengan pemberitaan, opini dan sudut pandang medianya.
Charles Darwin mengemukakan teori Survival of the fittest, mereka yang bisa bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan keadaan. Menurut Darwin makhluk yang sekarang ada merupakan hasil seleksi alam. Bukanlah mereka yang kuat yang akan bertahan, tetapi mereka yang dapat mengikuti perkembangan zaman yang akan tetap hidup. Sekuat-kuatnya dinosaurus musnah juga. Tetapi sekecil-kecilnya semut, dia mampu hidup hingga sekarang.
Republika, walau tegak berdiri dalam dua periode zaman teknologi media (cetak dan internet), mau tidak mau harus beradaptasi. Konvergensi sebuah keniscayaan. Teknologi bisa saja semua media memiliki, kekhasan dari medialah yang akan menarik pembaca untuk mengklik tautan. Pertarungan media di jagat Maya lebih keras lagi karena telah diisi oleh gurita jejaring media yang dibuat oleh banyak pihak. Perseorangan hingga korporasi. Mampukah Republika menarik pembaca loyalnya beralih dari cetak ke digital? Setelah melewati 30 tahun berlalu, bisakah bertahan 30 tahun ke depan? Waktu yang akan menjawab.
Oleh: Kelik N Widiyanto, ketua majelis pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Jawa Barat pernah menjadi wartawan magang di Republika Jabar pada 2003