WARTAMU.ID, Yogyakarta, 16 September 2024 – Keraton Yogyakarta kembali menggelar Hajad Dalem Garebeg Mulud 2024/Je 1958 pada Senin (16/09) untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Prosesi Garebeg Mulud ini merupakan ekspresi kegembiraan dan penghormatan atas kelahiran Rasulullah, serta simbol kesejahteraan yang diberikan oleh Sultan kepada rakyatnya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, prosesi berlangsung dengan keagungan tradisi yang diwariskan turun-temurun, menggambarkan harmonisasi antara kekuasaan, budaya, dan agama di Keraton Yogyakarta.
Dalam prosesi tersebut, gunungan—sebagai simbol kesejahteraan Sultan—diarak dari Keraton menuju beberapa titik penting, yakni Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, Kepatihan, dan Ndalem Mangkubumen. Gunungan ini dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk sedekah dan simbol keberkahan.
Ndalem Mangkubumen, yang juga menjadi lokasi Kampus 1 Universitas Widya Mataram (UWM), memiliki nilai sejarah yang mendalam. Menurut berbagai sumber, Ndalem ini dulunya merupakan kediaman KGPH Mangkubumi, adik dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Di era Sultan Hamengku Buwono VI, Ndalem Mangkubumen pernah menjadi tempat tinggal Sri Sultan Hamengku Buwono VII sebelum naik tahta dengan nama Pangeran Hangabehi. Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, pembagian gunungan di Ndalem Mangkubumen terus berlanjut sebagai bagian dari rangkaian tradisi Garebeg.
KRT Purwowinoto, salah satu Penghageng Keraton Yogyakarta, ketika ditemui oleh Tim Humas UWM menjelaskan makna di balik tradisi Garebeg. “Keraton setiap tahun menyelenggarakan tiga kali Garebeg, dan di Ndalem Mangkubumen ini merupakan kali ketiga sejak Sultan HB X bertahta. Gunungan merupakan sedekah raja kepada rakyatnya, simbol bahwa raja memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Tradisi ini terus berlanjut dengan beberapa penyesuaian agar berjalan aman dan lancar, mengingat jumlah penduduk yang terus meningkat,” ungkapnya.
Selain itu, GKR Mangkubumi yang memimpin prosesi di Ndalem Mangkubumen, didampingi oleh GKR Condrokirono dan GKR Hayu, menyampaikan rasa syukurnya setelah menerima ubo rampe garebeg. “Saya terima ubo rampe garebeg ini dan saya ucapkan terima kasih. Saya mohon kepada para abdi dalem untuk menerima ketan tersebut agar semua orang bisa sehat dan selamat,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Arsitektur Tradisional UWM, Dr. Satrio Hasto Broto Wibowo, mengungkapkan keterkaitan erat antara prosesi Garebeg dan arsitektur Keraton Yogyakarta. “Garebeg adalah acara besar keagamaan yang sudah dilaksanakan sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Prosesi ini selalu melibatkan bangunan-bangunan penting yang bermakna, seperti omah gunungan untuk pembuatan gunungan dan pagongan untuk nabuh gamelan di kompleks Masjid Gedhe,” jelasnya.
Ibu Unu, salah satu warga yang menerima ubo rampe gunungan, merasa sangat bersyukur atas tradisi ini. “Senang mendapatkan ubo rampe berupa wajik tradisional khas Keraton. Ini akan saya simpan sebagai kenang-kenangan dan untuk penghidupan sesuai tradisi adat Jawa,” tuturnya dengan penuh antusias.
Tradisi Garebeg Mulud 2024 ini diharapkan dapat terus menjaga nilai-nilai spiritual dan kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, sekaligus mempererat hubungan antara Keraton Yogyakarta dan masyarakat.