WARTAMU.ID, Turki – Alhamdulilah, pada hari Jum’at (29/7) pukul 15.00 waktu turki atau pukul 19.00 waktu jakarta Majelis Tarjih dan Tabligh Pimpinan Cabang Istimewa MuhammadiyaH (PCIM) Turki telah melaksanakan webinar yang mengundang Bapak Dr. Naswardi, MM., ME selaku Ketua Komisi III Lembaga Sensor Film Republik Indonesia.
Dinil Abrar Sulthani, M.Pd.I selaku Ketua PCIM Turki turut memberikan kata sambutan. Dalam kata sambutannya beliau mengucapakan terima kasih banyak kepada pemateri yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk dapat hadir menyapa rekan-rekan di Turki dan seluruh hadirin yang hadir melalui zoom meeting hari ini. Serta meminta tolong kepada Kanda Naswardi agar memberikan nasehat kepada PCIM Turki agar bisa mengikuti jejak Beliau agar dapat terus mengembangkan nilai-nilai ke-Muhammadiyah-an di dunia Internasional.
Webinar dengan tema “Literasi tontonan Kaum Millenial di Era Media Baru, Prespektif Sensor Film di Indonesia VS Turki”, dari tema tersebut jelas bahwasannya PCIM Turki dalam hal ini Majelis Tarjih dan Tabligh menggaris bawahi pentingnya peranan generasi millenial dalam hal literasi dan tontonan.
Ada beberapa point penting yang disampaikan oleh Dr. Naswardi, MM.ME. terkait sensor film di Indonesia dan Turki serta alasan kenapa kebijakan film ini harus menjadi point peting pemerintah sebagai permasalahan yang harus diselesaikan. Hal ini Beliau sampaikan dengan dasar surah Al-Isra ayat ke 36, yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
Sebagaimana tema yang dicantumkan tentu saja tujuan dari webinar ini adalah menyadarkan anak Indonesia khususnya generasi millenial agar mengetahui semua hal yang dicontoh dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat revolusi industri 4.0 sedang berkembang pesat.
Revolusi industry 4.0 memiliki dampak positif seperti berita yang kian mudah didapatkan, kemudahan bertukar informasi dan kejadian. Menurut data, lebih dari 200 juta jiwa dari 243 juta jiwa orang Indonesia adalah pengguna smartphone dan media sosial. Serta melonjaknya aktivitas muda/mudi Indonesia yang senang memproduksi konten di media sosial untuk berbagai macam keperluan, seperti edukasi dan ekonomi.
Sayanganya kemajuan ini tidak diikuti oleh kemajuan literasi anak bangsa. Menyebabkan orang-orang percaya berita hoax dan berita yang mengarah ke negative, menyebabkan mereka juga salah memberikan informasi dan yang terparah adalah kekurangan ilmu pengetahuan serta mudahnya menggoyahkan ideologi.
Bersadarkan informasi yang Beliau sampaikan. Literasi anak bangsa hanya 0,001% yang gemar membaca dan senang memvalidasi suatu hal. Artinya dalam suatu kumpulan yang berjumlah 1000 orang hanya ada 1 orang yang gemar membaca.
Tetapi anak bangsa khususnya kaum millenial lebih senang menonton atau aktivitas yang dapat mereka ingat dengan mudah. Oleh karena itu, dunia perfilman maju semakin bagus pula. Ini merupakan suatu perkembangan yang bagus untuk industri perfilm-an. Tapi alangkah baiknya jika anak muda juga tetap suka membaca agar literature juga semakin banyak dan luas.
Menurut Beliau, karena anak muda lebih suka menonton di banding membaca membawa beberapa hal fatal. Seperti susahnya kontrol diri, kecanduaan teknologi, dan tidak dapat membedakan mana yang baik dan buruk ketika mereka tonton dan tidak sesuai dengan aturan usia mereka tetapi tetap memaksa melihat. Hal ini adalah suatu permasalahan besar, masalahnya diberi nama “Tsunami Tontonan”. Apabila tontonan itu tidak sesuai dengan umur. Maka dapat dipastikan bahwa ada adegan-adegan yang tidak dapat dilihat atau ada budaya yang tidak seharusnya terlihat, dsb.
Lalu cara apa yang dapat kita lakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah mendirikan Lembaga untuk memfiltrasi tontonan yang masuk dari luar negeri maupun dalam negeri agar dapat diklasifikasikan sesuai umur dan dilihat apakah sesuai dengan ideologi Negara atau tidak. Khusus Indonesia filtrasi film menggunakan keberagamaan, nilai dasar kebudayaan yang harus dijaga dan 4 pilar kebangsaaan, yaitu :
- UUD 1945
- Pancasila
- NKRI,
- Bhinneka Tunggal Ika,
Hal ini tentu-nya hanya sebagai proteksi dasar. Kontrol sesungguhnya adalah diri sendiri juga orang tua untuk anak-anak dibawah umur. Karena menurut survei, anak-anak di Indonesia dapat menonton selama 8 jam sehari. Hal ini tentunya berdampak negatif kepada kesehatan meraka. Untuk itu peran orang tua sangat diperlukan. Agar menjadi tameng anak untuk mrndapatkan tontonan yang sesuai dengan usianya dan tidak mengarah ke hal negatif.
Dalam kesempatan kali ini beliau menyampaikan tips dan trik agar tontonan atau film yang anak-anak konsumsi dapat bermanfaat. Caranya adalah
- Dampingi anak saat menonton,
- Batasi jam menonton anak,
- Pilih film yang sesuai usia anak,
- Mengingatkan hal baik yang dapat ditiru dan penanaman nilai-nilai positif.
Permasalahan terkait tontonan yang masuk ada perbedaan ideologi dan lain sebagainya diatasi dengan cara membuat Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor Film melakukan 4 upaya besar untuk mengatasi masalah ini, yaitu:
- Kampanye secara massif (Langsung dan Webinar),
- Menginisiasi Desa Sensor Mandiri,
- Survey kepatuhan kepada jenis tontonan,
- Memperkuat hubungan antar lembaga.
Adapun proses filtrasi di Indonesia khusus dibidang perfilm-an bibagi menjadi dua, yaitu: 1.) Sebelum tayang melalui Lembaga Sensor Film 2.) setalah tayang melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Hingga sekarang program ini terus berlanjut hingga pada tahun 2021 Lembaga Sensor Film berhasil menyensor lebih dari 40 ribu film dan 2 film yang tidak lulus sensor.
Tapi sayang sekali kebijakan sensor ini hanya dapat berlaku untuk lembaga konvensional saja. Lembaga Sensor Film Indonesia belum memiliki wewenang untuk menyensor platform digital seperti Netflix, dll yang tentunya menjadi sumber kekhawatiran karena bisa jadi anak millennial tidak menonton lembaga konvensional lagi melainkan beralih ke platform digital.