Menyingkap Misteri Peradaban Tertua di Nusantara: Kerajaan Salakanagara

Patung Ganesha di Komplek ITB (Dok Foto kemdikbud.go.id)

WARTAMU.ID, Sejarah – Kerajaan Salakanagara, yang berarti “Negeri Perak,” adalah salah satu peradaban tertua di Nusantara yang jarang dibahas dalam sejarah Indonesia. Kerajaan ini diduga berdiri sekitar abad ke-2 Masehi di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jawa Barat, tepatnya di daerah Pandeglang, Banten. Meskipun informasi tentang Salakanagara tidak sebanyak kerajaan-kerajaan lain seperti Majapahit atau Sriwijaya, peran dan pengaruhnya dalam sejarah awal Nusantara sangat signifikan.

Asal Usul dan Pendiri Kerajaan

Salakanagara dipercaya didirikan oleh Aki Tirem, seorang penguasa lokal yang berasal dari India. Menurut sumber-sumber sejarah, Aki Tirem adalah sosok yang membawa budaya dan teknologi dari India ke Nusantara, sehingga mempengaruhi perkembangan awal peradaban di wilayah tersebut. Setelah wafatnya Aki Tirem, kepemimpinan Salakanagara diteruskan oleh menantunya, Dewawarman, yang kemudian menjadi raja pertama Salakanagara. Dewawarman dikenal sebagai tokoh penting yang memperkuat pengaruh India di Nusantara, baik dalam aspek budaya, bahasa, maupun agama.

Peran Salakanagara dalam Perdagangan Maritim

Salah satu aspek yang membuat Salakanagara penting adalah perannya sebagai pusat perdagangan maritim di wilayah Nusantara. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional, yang menghubungkan India, Cina, dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara, menjadikan Salakanagara sebagai pusat distribusi barang-barang seperti perak, rempah-rempah, dan hasil bumi lainnya. Keberadaan pelabuhan yang ramai di Salakanagara juga memfasilitasi pertukaran budaya dan teknologi antara Nusantara dengan dunia luar.

Jejak Arkeologis dan Catatan Sejarah

Meski tidak banyak peninggalan fisik yang ditemukan dari Kerajaan Salakanagara, beberapa prasasti dan catatan sejarah dari kerajaan-kerajaan lain memberikan gambaran tentang keberadaan dan kejayaan Salakanagara. Prasasti-prasasti seperti Prasasti Tugu dan catatan dari Dinasti Han di Cina menyebutkan adanya kerajaan di wilayah barat Jawa yang memiliki hubungan dagang dan politik dengan kekuatan besar di Asia. Catatan ini menguatkan hipotesis bahwa Salakanagara memiliki peran penting dalam jaringan perdagangan internasional pada masanya.

Kehancuran dan Warisan

Kerajaan Salakanagara mulai mengalami kemunduran pada abad ke-5 Masehi, ketika kekuatan politik dan militer di Nusantara mulai terpusat di kerajaan-kerajaan yang lebih besar dan kuat seperti Tarumanagara. Namun, warisan Salakanagara tidak hilang begitu saja; pengaruh budaya dan politiknya dapat dilihat dalam perkembangan kerajaan-kerajaan berikutnya di Jawa Barat. Pengaruh Salakanagara juga terasa dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara, yang memainkan peran besar dalam pembentukan identitas budaya Indonesia hingga saat ini.

Meskipun kurang dikenal dibandingkan kerajaan-kerajaan besar lainnya, Kerajaan Salakanagara memainkan peran penting dalam sejarah awal Nusantara. Sebagai peradaban tertua di wilayah Jawa Barat, Salakanagara menjadi saksi bisu dari perkembangan budaya, perdagangan, dan politik yang akan membentuk dasar bagi peradaban-peradaban berikutnya di Indonesia. Menelusuri jejak sejarah Salakanagara memberikan kita pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana Nusantara mulai berkembang menjadi pusat peradaban yang berpengaruh di Asia Tenggara.

Artikel ini ditulis berdasarkan hasil kajian dari beberapa sumber sejarah yang diakui dalam bidang sejarah Indonesia kuno. Meskipun data mengenai Kerajaan Salakanagara masih terbatas, kajian ini memberikan pandangan yang lebih dalam mengenai salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang berperan penting dalam pembentukan sejarah dan budaya Indonesia.

Sumber Referensi:

  1. Muljana, Slamet. “Nusantara: Sejarah Indonesia Kuno.” LKiS, 2005.
  2. Poesponegoro, Marwati Djoened. “Sejarah Nasional Indonesia Jilid II: Zaman Kuno.” Balai Pustaka, 2008.
  3. Damais, Louis-Charles. “Études d’épigraphie indonésienne: Les Prasasti de la Dynastie Sanjaya.” Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient, 1952.
  4. Sumadio, Budiardjo. “Sejarah Kebudayaan Indonesia 1.” Balai Pustaka, 1984.