WARTAMU.ID, Yogyakarta – Dalam momen peringatan Hari Tanpa Toleransi terhadap Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) pada Kamis (6/2/25), organisasi perempuan Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, kembali menegaskan sikapnya yang tidak menganjurkan praktik sunat perempuan.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, menyampaikan bahwa sunat perempuan adalah tindakan yang merugikan dan telah diakui sebagai praktik berbahaya oleh dunia internasional. Namun, sayangnya, praktik ini masih banyak terjadi di Indonesia akibat faktor budaya dan kesalahpahaman dalam pemahaman agama.
Edukasi Masyarakat dan Peran Tokoh Agama
Untuk mengatasi hal ini, ‘Aisyiyah aktif melakukan edukasi kepada masyarakat agar menghentikan praktik sunat perempuan. Salah satu langkah yang diambil adalah menyebarkan pemahaman Islam yang tidak menganjurkan sunat perempuan di kalangan tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Tokoh agama dan tokoh masyarakat menjadi salah satu kunci untuk menghentikan praktik ini karena mereka sangat didengar pendapatnya oleh masyarakat,” ujar Tri. Selain itu, ‘Aisyiyah juga bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam melakukan sosialisasi kepada kader-kadernya di beberapa provinsi. Kerja sama ini diharapkan semakin memperkuat peran kader dalam memberikan edukasi kepada masyarakat.
Fatwa Muhammadiyah: Sunat Perempuan Tidak Dianjurkan
Ketua PP ‘Aisyiyah yang membidangi Majelis Tabligh dan Ketarjihan, Siti Aisyah, menegaskan bahwa Muhammadiyah telah mengeluarkan Fatwa Tarjih terkait khitan perempuan dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2. Fatwa tersebut menyatakan bahwa hadis mengenai sunat perempuan dinilai lemah dan tidak memiliki dasar dalil yang kuat.
“Jika ditinjau dari dampak negatifnya, maka tidak ada alasan untuk menganjurkan atau bahkan mewajibkan sunat perempuan,” terang Siti Aisyah. Keputusan ini mempertimbangkan aspek kesehatan, sosial budaya, dan kajian bayani.
Siti Aisyah juga menguraikan beberapa dalil yang sering dijadikan dasar bagi praktik sunat perempuan, termasuk penafsiran keliru terhadap surat An-Nisa ayat 125 serta hadis dari Ummu Athiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi. Hadis tersebut dinilai lemah karena adanya perawi yang tidak diketahui asal-usulnya, yakni Muhammad ibn Hasan.
Strategi Mengubah Tradisi dan Membangun Kesadaran Masyarakat
Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah, Evi Sovia Inayati, mengungkapkan bahwa tradisi sunat perempuan dan perayaan yang menyertainya masih kuat di beberapa daerah. Oleh karena itu, perlu keterlibatan berbagai unsur masyarakat untuk mengubah tradisi ini melalui edukasi dan peningkatan pemahaman keislaman.
“Kita perlu terus menyebarkan pemahaman Islam yang berkemajuan dan tidak menganjurkan khitan perempuan dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Ini dapat dilakukan melalui tabligh, ceramah, serta sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan,” jelas Evi.
Siti Aisyah menambahkan bahwa untuk mengimbangi tradisi pesta khitan perempuan, perlu diinisiasi tradisi baru yang lebih bermanfaat, seperti tasyakuran saat anak perempuan mengalami haid pertama. “Momen haid pertama adalah simbol memasuki kehidupan balig, yang menempatkan perempuan sebagai hamba Allah dengan tanggung jawab keagamaan dan sosial,” tutupnya.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan, ‘Aisyiyah berharap kesadaran masyarakat akan bahaya sunat perempuan semakin meningkat, sehingga praktik ini dapat dihentikan demi melindungi hak dan kesehatan perempuan di Indonesia.