WARTAMU.ID, Humaniora – Dibalik narasi perdamaian dan toleransi, ada paradoks yang mencuat yakni penyakit islamophobia di berbagai unsur kehidupan. Gerakan yang menghidupkan islamophobia umumnya tak lepas dari ideologi yang memisahkan peran agama dalam ruang publik dan kekuasaan, akan tetapi gerakan itu sendiri masuk dalam agenda kebijakan dunia pada setiap kekuasaan pemerintahan manapun. Sebuah ironi kehidupan yang mengajak damai tentram, namun tetap saja membiarkan gerakan islamophobia terus begerak baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Barometer kedamaian di era modern pun memiliki arti atau defenisi yang semakin ambiguitas dan kontra produksi yang direduksi oleh para pihak elit global berjubah ulamawan serta ilmuwan. Sesuatu yang semakin aneh dan tidak seusai pada kerukunan umat beragama yang esensial, justru sesuai dengan nilai-nilai sinkretisme agama sebagai atheist modern yang ahli dalam berbagai teori-teori keagamaan. Antara ajakan suci beragama yang cinta kasih, tetapi justru doktrin-doktrin pada nilai suci agama tertentu di panggung keberagaman yang paradoks.
Muhammadiyah memiliki banyak amal usaha tidak lepas dari gerakan meniru kemajuan dari agama lain yang punya semangat gospel milisi sekaligus membangun kelembagaan profesional. Upaya bersaing dengan cara fastabiqul khoirot bil hikmah juga tanpa harus jadi lemah mengekor pada wilayah yang melemahkan akidah. Berteman luas dan menjaga kerukunan itu harus, namun juga menjaga keimanan tanpa harus adanya integrasi ritualisasi yang disamakan atau dibersamakan. Sebab masing-masing sudah memiliki wilayah teologis dan agama yang pakem tanpa harus dicampuradukkan dengan embel-embel dalih rukun, toleransi, humanis dan harmonis lagi sebagai upaya stempelisasi semata. Muhammadiyah yang dilakukan para pendahulunya sangat toleran tanpa harus bersanding-sandingan ritual keagamaan masing-masing. Kewarasan beragama hari ini justru kayaknya kehidupan seperti jahiliyah, semakin kerasa ahli agama ulamawan sekaligus ilmuwan tapi kelakuan semakin gelap penuh kejahilan modernitas.
Punahnya kristolog Muhammadiyah merupakan realitas dari semakin banyaknya amal usaha muhammadiyah yang kemudian peran dan fungsinya telah bergeser oleh generasi nya sendiri. Kristolog Muhammadiyah itu bukan berarti anti keberagaman dan kerukunan umat beragama, melainkan menjalani aktivitas dakwah untuk mengimbangi dan juga sekaligus mengawal iman dan akidah jamaah awam serta umat islam dari gempuran doktrin-doktrin agama dibalik kegiatan-kegiatan amal sosial kemanusiaan Para pimpinan Muhammadiyah terdahulu selain ulama juga merupakan kristolog secara de jure, dikarenakan kemampuan menjaga umat dari kebodohan, kekafiran, dan kemurtadan yang disengaja oleh entitas-entitas yang berkedok serta berdalih atas nama kemajemukan. Bukan lantas kristolog itu adalah musuh umat beragama dalam hal ini pada agama Kristiani sebagai rival pesaing keagamaan dalam kelembagaan. Sepanjang tidak lompat pagar, menyalahi aturan, memaksa iman, dan tidak merusak kedamaian maka penting menjaga toleransi secara tasamuh dan bukan toleransi secara namimah. Kini punahnya kristolog Muhammadiyah akibat dari bermunculannya para teolog Muhammadiyah juga para sosiolog yang lebih mendominasi dalam ranah kajian sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama. Bahkan juga masuk dalam cakupan sinkretisme agama sekaligus dogma agama berbasis sektarian. Langkah berat untuk dapat mengembalikan makna hakikat inklusif, terbuka, moderat dengan wasathiyyat Islam yang sesuai koridor tentunya. Hal ini akibat dari munculnya ragam perspektif, paradigma dan interpretasi soal keberagaman umat beragama tadi.
Kajian Kristologi pada dasarnya untuk membongkar dan menjawab upaya Kristenisasi yang dilakukan secara terbuka di lingkungan masyarakat islam atau agama lain dengan berbagai metode. Hanya saja muncul intelektual Muslim lain yang mucul seolah-olah ingin jadi pahlawan kesiangan sebagai bentuk benteng pertahanan merasa kajian Kristologi merupakan bentuk dari benih kebencian dan intoleransi. Sebuah fenomena berkemunduran di lingkungan intelektual Muslim yang memiliki pemikiran mikro layaknya sebuah alas kaki tempat nya debu dan kontoran. Jika ditelaah lebih mendalam secara bijaksana, kajian Kristologi itu membuka wawasan para pendakwah dan muballigh yang selama ini apatis terhadap umat yang tak pernah maju berdaya, sebab ternyata selama ini akibat dari adanya Kristenisasi di lingkungan Muslim yang membuat iman jamaah awam serba setengah dan akidah nya menjadi rancu tidak jelas. Sebenarnya aktivitas keagamaan oleh agama manapun boleh dan sah selama sesuai dengan aturan-aturan, akan tetapi bisa menjadi ancaman serta bencana bilamana agama masuk dalam ruang lingkup masyarakat yang telah beragama dengan cara penggiringan iman. Berbeda agama bukan berarti bermusuhan, melainkan mampu melihat perbedaan itu dengan kerukunan yang otentik dalam menjaga keharmonisan antar sesama umat manusia. Yang jelas dalam kajian Kristologi ini, Muhammadiyah merupakan organisasi pelopor yang berhasil dalam mengimbangi dan membentengi nya walaupun kini telah mulai hilang atau musnah.
Kini saatnya kembali menjalankan kajian Kristologi di Muhammadiyah tanpa harus merasa tidak enakan. AUM tetap lah inklusif bagi masyarakat non Muslim yang ingin sekolah atau kuliah di Muhammadiyah, karena dalam Islam juga tidak boleh memaksa untuk masuk dalam agama Islam. Pembahasan Kristologi bukan untuk memusuhi atau melawan non Muslim atau orang Kristen, melainkan agar tidak adanya penyesatan maupun islampohbia. Karena semua umat beragama di Indonesia itu adalah bersaudara sesama anak bangsa dan warga masyarakat Indonesia. Hanya saja khusus untuk Kristologi ini bersifat kajian internal dalam Islam dalam melihat masyarakatnya yang lemah dari sisi agama, ini juga berlaku di agama lain yang bila memiliki kajian antisipasi pada doktrin agama oleh oknum atau orang yang tak bertanggung jawab tapi membawa atas nama agama. Sehingga Muhammadiyah tetap memiliki para kristolog yang bisa memaparkan tentang ajaran krsitiani dalam hal tertentu berbeda dengan islam walaupun masih dianggap ajaran samawi. Karena menyamakan semua agama tentu tidak tepat, melainkan semua agama benar dalam masing-masing pandangan ajarannya selama tidak merusak kerukunan antar umat beragama. Fenomena mualaf dan murtad itu harus jadi pembahasan dalam Muhammadiyah agar bisa menemukan solusi yang terbaik dengan islam berkemajuan. Tidak perlu saling membenturkan agama dan tidak pula harus mengintegrasikan ritual-ritual agama menjadi rujak atau gado-gado dengan dalih toleransi beragama. Kewarasan beragama dan sewajarnya menyikapi beragama adalah modal substantif dalam menjaga kerukunan antar umat beragama yang baik dan benar tentu nya tanpa polemik, problematik dan prestisius.
Oleh : As’ad Bukhari, S.Sos., MA
(Analis Intelektual Muhammadiyah Islam Berkemajuan)