WARTAMU.ID, Humaniora – Opini ini mencoba menyoroti dua hal yang muncul bersamaan di ruang publik: dukungan Muhammadiyah terhadap RUU Pengelolaan Perubahan Iklim (PPI) dan kritik akademisi Muhammadiyah terhadap gaya komunikasi menteri baru. Dua isu ini tampak berbeda, namun keduanya memperlihatkan satu garis tegas: peran Muhammadiyah sebagai penopang moral publik dan penjaga akal sehat kebijakan. Tujuannya adalah menunjukkan bahwa dalam situasi krisis iklim dan krisis komunikasi politik, suara Muhammadiyah hadir bukan hanya sebagai kekuatan sosial-keagamaan, tetapi juga sebagai kekuatan kebangsaan.
Perubahan iklim kini bukan lagi abstraksi. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, bencana hidrometeorologi menyumbang lebih dari 90% total kejadian bencana di Indonesia. Lebih dari 2.300 peristiwa banjir, longsor, dan kekeringan terjadi, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp22 triliun (BNPB, Juli 2024). Jika tidak ada regulasi kuat seperti UU PPI, dampak ekonomi dan sosial akan semakin menghantam masyarakat kecil, terutama petani. Dalam konteks inilah, dukungan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah agar RUU PPI segera masuk Prolegnas 2026 harus dibaca sebagai langkah strategis.
Di sisi lain, dunia politik sering menciptakan “badai buatan” yang memperparah situasi. Menteri baru hasil reshuffle kerap membuat pernyataan yang kontroversial, memancing polemik di tengah publik. Akademisi Muhammadiyah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memberi catatan keras: seharusnya menteri fokus pada “quick wins” atau capaian cepat yang dirasakan publik, bukan menciptakan kegaduhan. Kritik ini mencerminkan pengawasan sosial Muhammadiyah yang tidak hanya bicara pada ranah etika lingkungan, tetapi juga etika komunikasi politik.
Menariknya, kedua isu ini sebenarnya saling terkait. Bagaimana publik bisa percaya pada kebijakan iklim, jika komunikasi politik pejabat masih terjebak pada ego dan pernyataan tak terukur? Kepercayaan publik adalah energi utama bagi keberhasilan regulasi iklim. Sebuah survei Litbang Kompas (Maret 2025) menunjukkan bahwa hanya 41,7% masyarakat percaya pemerintah serius menangani krisis iklim, sementara 48,2% ragu dan sisanya tidak tahu. Angka ini menunjukkan adanya krisis legitimasi yang hanya bisa dijawab dengan kombinasi kebijakan yang kuat dan komunikasi publik yang jernih.
Menurut saya, Muhammadiyah mencoba mengisi kekosongan ini. Dengan kekuatan moral dan jaringan pendidikan serta kesehatan yang masif, Muhammadiyah menegaskan bahwa isu iklim bukan hanya urusan teknis, melainkan urusan moral dan keberlanjutan umat manusia. Dukungan terhadap RUU PPI adalah simbol bahwa Muhammadiyah tidak berhenti pada dakwah bil-lisan, tetapi juga dakwah bil-kebijakan. Pada saat bersamaan, kritik akademisi Muhammadiyah terhadap menteri baru memperlihatkan konsistensi: bahwa komunikasi publik harus jujur, terukur, dan berbasis kepentingan rakyat, bukan sekadar citra politik.
Kita juga harus sadar bahwa isu iklim adalah “bom waktu demografis”. Menurut data Bappenas (September 2024), jika tidak ada adaptasi iklim yang efektif, Indonesia berpotensi kehilangan hingga 3,45% PDB per tahun pada 2030 karena kerugian produktivitas sektor pertanian, perikanan, dan kesehatan. Angka ini setara dengan lebih dari Rp700 triliun hilang dari ekonomi nasional setiap tahun. Bayangkan jika dalam kondisi ini, komunikasi politik pejabat justru melemahkan kepercayaan publik.
Dengan demikian, Muhammadiyah bukan sekadar “ormas tua” yang sering diasosiasikan dengan isu moral, tapi kini menjadi aktor penting dalam arena kebijakan publik. Peran ini harus diperkuat, karena tantangan iklim dan politik komunikasi tidak bisa diselesaikan hanya oleh pemerintah. Dibutuhkan kekuatan masyarakat sipil yang mampu menjembatani kebijakan dengan kebutuhan rakyat.
Bahwa dukungan Muhammadiyah terhadap RUU PPI dan kritik terhadap komunikasi menteri baru adalah dua wajah dari satu misi: menjaga akal sehat bangsa. Regulasi iklim harus segera hadir agar rakyat kecil terlindungi dari dampak nyata bencana, dan komunikasi publik harus bertransformasi agar rakyat percaya pada pemerintahnya. Menurut saya, inilah momentum emas bagi Muhammadiyah untuk menunjukkan dirinya sebagai kekuatan moral sekaligus kekuatan politik publik, demi Indonesia yang lebih beradab dalam menghadapi krisis iklim dan krisis komunikasi.
Oleh : Nashrul Mu’minin content writer yogyakarta












