WARTAMU.ID, Humaiora – Dalam lima tahun terakhir, peran generasi muda dalam memanfaatkan data statistik semakin menonjol. Mereka bukan hanya sekadar pengguna teknologi digital, tetapi juga agen perubahan yang mencoba mengolah angka menjadi inovasi, peluang usaha, dan bahkan kontribusi nyata untuk pembangunan bangsa. Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Setiap tahun, dari 2021 hingga 2025, selalu ada masalah utama yang membayangi, diikuti capaian, tujuan, serta evaluasi yang memberi pelajaran berharga.
Pada 2021, pandemi masih membatasi ruang gerak. Masalah terbesar bagi anak muda adalah akses terhadap data yang belum merata. Survei BPS (Mei 2021) mencatat hanya 47% mahasiswa dan pelajar yang benar-benar memanfaatkan data terbuka pemerintah. Dari situ lahirlah sekitar 320 inisiatif startup berbasis data kesehatan. Harapannya, data kasus harian bisa diolah menjadi informasi yang mudah dipahami masyarakat. Sayangnya, evaluasi akhir tahun menunjukkan banyak yang gagal bertahan karena kekurangan dana dan keterbatasan literasi analisis data. Meski begitu, 2021 menjadi awal kesadaran: data bukan sekadar angka, tetapi fondasi untuk solusi.
Berlanjut ke 2022, masalahnya justru berbeda. Generasi muda kebanjiran data, tapi sering sulit membedakan mana yang valid, mana yang sekadar hoaks. Kementerian Kominfo (Agustus 2022) menemukan bahwa 63% pengguna internet usia 17–30 tahun pernah menyebarkan data yang ternyata tidak akurat. Meski begitu, muncul 410 startup baru berbasis data pertanian dengan nilai ekonomi sekitar Rp1,3 triliun pada Oktober 2022. Aplikasi mereka membantu petani kecil memperkirakan harga panen dan memperluas pasar. Evaluasi tahun itu menunjukkan satu hal penting: semangat ada, inovasi tumbuh, tapi kemampuan memfilter data masih jadi pekerjaan rumah besar.
Memasuki 2023, problem etika mulai menonjol. Banyak anak muda yang mengolah big data untuk wirausaha, namun tak sedikit yang tergelincir pada pelanggaran privasi. APJII (September 2023) mencatat sekitar 12% startup berbasis analitik pengguna bermasalah secara hukum karena penyalahgunaan data pribadi. Namun, sisi positifnya ada 530 proyek inovasi sosial berbasis data yang berhasil jalan dengan nilai kontribusi Rp2,1 triliun. Platform mereka menghubungkan komunitas, peluang kerja, hingga layanan publik. Evaluasi tahun 2023 menegaskan: generasi muda semakin mahir bermain dengan data, tetapi etika harus menjadi fondasi, bukan sekadar pelengkap.
Tahun 2024 menghadirkan tantangan lain: jarak antara potensi dan implementasi. Survei BPS (Juni 2024) menyebut 72% anak muda bisa mengakses data terbuka, tapi hanya 38% yang menggunakannya secara produktif. Meski ada 670 startup baru dengan nilai Rp2,9 triliun, sebagian besar gagal bertahan lama. Banyak yang punya ide brilian di bidang pariwisata digital, namun kalah bersaing dengan platform besar. Evaluasi menunjukkan bahwa generasi muda punya semangat luar biasa, tetapi daya tahan inovasi masih rapuh.
Akhirnya, 2025 memperlihatkan wajah yang lebih matang. Masalah utama kali ini adalah integrasi dengan kebijakan nasional. Laporan Bappenas (Maret 2025) mencatat hanya 41% program inovasi anak muda yang benar-benar masuk ke rencana pembangunan daerah. Meski demikian, kontribusi ekonominya melonjak: 890 inisiatif berbasis data berjalan berkelanjutan dengan nilai sekitar Rp4,5 triliun pada September 2025. Tidak lagi hanya fokus wirausaha, melainkan juga mendukung kebijakan publik—mulai dari tata kota, pendidikan, hingga lingkungan. Evaluasi memperlihatkan transformasi besar: anak muda kini bukan hanya pengguna data, melainkan mitra strategis pembangunan.
Kalau ditarik benang merahnya, setiap tahun punya tantangan sendiri: keterbatasan akses (2021), banjir hoaks (2022), isu etika (2023), gap implementasi (2024), hingga integrasi kebijakan (2025). Namun kontribusi mereka tumbuh eksponensial, baik dari jumlah startup, nilai ekonomi, maupun inovasi sosial. Menurut saya, kunci ke depan bukan hanya memperbanyak data atau memperluas akses, tetapi menciptakan ekosistem yang etis, inklusif, dan benar-benar mendukung daya tahan inovasi generasi muda.
Ketika angka tidak lagi sekadar dicatat, tetapi diolah, diperdebatkan, dan dipakai untuk bertindak, generasi muda membuktikan bahwa mereka bisa mengubah data menjadi aksi nyata. Dan di era digital ini, aksi itulah yang akan menentukan arah masa depan bangsa.
Oleh : Nashrul Mu’minin Content writer Yogyakarta












