Revisi APBN 2026: Menimbang Ulang Realisme dan Harapan

Ilustrasi

WARTAMU.ID, Humaniora – Perubahan mendadak di pucuk kebijakan keuangan negara, terutama dengan adanya pergantian Menteri Keuangan, selalu menjadi momen krusial dalam arah fiskal nasional. APBN bukan hanya soal angka, tetapi juga cerminan strategi politik, ekonomi, dan keberanian pemerintah dalam mengelola ketidakpastian. Revisi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menunjukkan bahwa pemerintah menyadari adanya gap antara ekspektasi awal dan realitas ekonomi global maupun domestik.

Tujuan utama APBN tetaplah sama: menjaga pertumbuhan ekonomi yang inklusif, stabilitas fiskal yang berkelanjutan, dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Namun, dalam proses revisi, arah prioritas dapat berubah sesuai dengan tekanan eksternal dan internal. Bila sebelumnya pemerintah menargetkan defisit sekitar 2,48% dari GDP dengan asumsi pendapatan negara tumbuh 10%, maka setiap perubahan kecil di asumsi makro—seperti harga komoditas, suku bunga global, atau nilai tukar rupiah—dapat mengubah skema fiskal secara signifikan.

Secara matematis, target pendapatan naik 10% terkesan ambisius, apalagi bila kita melihat tren realisasi penerimaan negara pada tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata hanya tumbuh di kisaran 6–7%. Dengan basis penerimaan pajak yang masih rapuh, tax ratio stagnan di sekitar 10–11% dari GDP, serta ketergantungan pada penerimaan komoditas yang fluktuatif, revisi menjadi kebutuhan mendesak. Tidak hanya agar target lebih realistis, tetapi juga supaya APBN tidak terjebak dalam ilusi optimisme.

Defisit 2,48% dari GDP sebenarnya relatif sehat dibandingkan pengalaman masa lalu ketika defisit bisa tembus 3% bahkan lebih. Namun, tantangan yang nyata adalah bagaimana membiayai defisit tersebut. Ketergantungan pada utang luar negeri jelas membawa risiko, terutama di tengah tren kenaikan suku bunga global. Obligasi pemerintah dengan yield tinggi memang menarik investor, tetapi akan menambah beban pembayaran bunga utang di tahun-tahun mendatang. Rasio utang yang kini berada di kisaran 39% dari GDP memang masih dalam batas aman, tetapi tren kenaikan bunga dan nilai tukar bisa menjadi bom waktu fiskal.

Di sisi lain, belanja negara harus diarahkan pada hal-hal yang benar-benar produktif. Selama ini belanja terbesar masih terserap pada subsidi energi dan belanja pegawai. Padahal, untuk mendongkrak daya saing, belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan harus lebih diprioritaskan. Jika revisi APBN 2026 hanya mengutamakan keseimbangan jangka pendek, maka efek jangka panjang berupa daya dorong pembangunan bisa terabaikan. Inilah dilema klasik: menyeimbangkan populisme dengan produktivitas.

BACA JUGA :  Memasak Tempe: Perjalanan Rasa dan Penghormatan Terhadap Budaya Kuliner Indonesia

Menurut saya, revisi ini juga harus memperhitungkan aspek politik. Pergantian Menkeu bukan hanya soal teknis fiskal, tetapi juga menyangkut kepercayaan investor, pasar keuangan, dan publik. Pernyataan atau arah kebijakan baru dari Menkeu yang menggantikan bisa menimbulkan euforia atau justru kepanikan. Oleh karena itu, komunikasi kebijakan harus dilakukan hati-hati, transparan, dan berbasis data. Jangan sampai revisi APBN dipersepsikan sebagai ketidakmampuan pemerintah mengelola anggaran, tetapi harus ditampilkan sebagai bentuk adaptasi terhadap dinamika ekonomi global.

Jika kita melihat lebih dalam, revisi APBN 2026 seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat reformasi perpajakan, memperbaiki efektivitas belanja, serta memperluas basis penerimaan non-pajak. Misalnya, optimalisasi penerimaan dari sektor digital, green economy, hingga carbon tax yang selama ini masih minim realisasi. Tanpa terobosan semacam ini, APBN hanya akan menjadi rutinitas angka yang tidak memberi dampak besar pada kesejahteraan rakyat.

Kesimpulannya, revisi APBN 2026 bukan sekadar soal menurunkan target pendapatan atau menyesuaikan defisit, tetapi harus dilihat sebagai upaya strategis untuk menjaga kredibilitas fiskal di tengah ketidakpastian global. Pemerintah dituntut realistis dalam menetapkan target, berani dalam melakukan reformasi struktural, dan cerdas dalam mengelola belanja agar tetap produktif. Menurut saya, jika revisi dilakukan dengan matang dan komunikatif, maka APBN 2026 tidak hanya selamat dari jebakan optimisme berlebihan, tetapi juga menjadi fondasi kuat untuk keberlanjutan ekonomi Indonesia.

Apakah kamu mau saya tambahkan simulasi skenario angka—misalnya jika pendapatan hanya naik 7% dan defisit melebar ke 2,8% GDP—supaya argumennya lebih tajam?

Oleh : Nashrul Mu’minin (content writer yogyakarta)