WARTAMU.ID, Bandung – Terbang jauh dari Jakarta, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Raja Juli Antoni kembali menyapa kader muda Muhammadiyah pada Tanwir V Nasyiatul Aisyiyah pada sesi Stadium General, Jum’at (2/12).
Raja Juli Antoni sendiri merupakan salah satu kader Muhammadiyah yang berdiaspora pada ranah kebangsaan. Ia dulunya pernah berproses di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Pemuda Muhammadiyah.
Mengawali ceramahnya, Raja Juli menceritakan bahwa pada saat G20 yang lalu di Bali, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo didampingi dua perempuan terbaik di Indonesia, yakni Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri).
“Bagi saya penampilan Pak Jokowi yang didampingi perempuan terbaik di Indonesia menceritakan kepada bangsa lain di luar sana bahwa Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi yang mayoritas penduduknya adalah muslim bahwa perempuan Indonesia adalah perempuan yang luar biasa, yang bisa berbicara pada level internasional,” ucap Raja.
Ia menambahkan bahwa kemajuan perempuan Indonesia sangat terkait dengan gerakan ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah yang sudah dirintis sejak tahun 1920-an.
“Kita tahu, seperti yang dikatakan Mas Mu’ti tadi, bahwa perempuan dalam sejarah umat manusia dan sejarah Indonesia adalah second clasification, warga negara kedua atau bahkan makhluk ciptaan kedua setelah laki-laki. Akan tetapi dengan kontribusi ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah maka perempuan Indonesia dapat terangkat martabatnya,” imbuhnya.
Wamen ATR juga menyampaikan bahwa ia teringat tokoh ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, Siti Munjiyah, yang berbicara pada Kongres I Perempuan Indonesia pada tahun 1928.
“Hal ini menyimpulkan bagaimana pikiran dan tindakan perempuan Muhammadiyah,” tutur Raja.
Ia juga mengatakan, “Dalam Kongres tersebut Bu Munjiyah mengatakan, “Mereka kaum perempuan itu berfikir bahwa yang menyebabkan haknya hilang itu lantaran bodoh. Baiklah, sekarang kami bergerak maju mencari pengetahuan dengan bersekolah dan bahwasanya perempuan itu sama saja dengan haknya laki-laki.”
Raja Juli menambahkan bahwa dapat dibayangkan bagaimana di tahun 1928, seorang pengurus muda ‘Aisyiyah/Nasyiatul Aisyiyah sudah mengkampanyekan di suatu forum yang terhormat bagaimana pentingnya hak-hak perempuan, termasuk bagaimana perempuan memiliki hak berpendidikan.
“Kondisi ini jangan sampai taken for guaranteed bagi Nasyiatul Aisyiyah. Bahwa di belahan bumi sana masih banyak kelompok-kelompok Islam, sekte-sekte Islam yang masih mengharamkan pendidikan bagi perempuan. Di Afganistan sana sampai hari ini perempuan masih diharamkan untuk pergi ke sekolah. Bandingkan dengan kesadaran Nasyiatul Aisyiyah dan Aisyiyah pada tahun 1928 bahwa akar masalah kita adalah pendidikan,” ucapnya.
Atas dasar sejarah tersebut, Raja Juli meminta agar Nasyiatul Aisyiyah tidak boleh minder dan tidak boleh berdiri di belakang karena justru kader Nasyiatul Aisyiyahlah yang pertama kali berbicara tentang kemajuan dan kesempurnaan, baik itu laki-laki maupun perempuan.