Antara Solidaritas dan Intrik Politik: Membaca Dinamika KTT Arab–Islam Luar Biasa

Ilustrasi

WARTAMU.ID, Humaniora – KTT Arab–Islam Luar Biasa yang digelar pada pertengahan September 2025 menjadi sorotan dunia internasional. Masalah utama yang mengemuka adalah agresi berulang Israel terhadap wilayah Gaza dan serangan yang berimbas ke Qatar. Negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab berkumpul untuk merumuskan sikap kolektif. Namun, di balik solidaritas yang ditunjukkan, ada intrik politik yang mencerminkan ketegangan antara kepentingan nasional masing-masing negara dengan ideal solidaritas umat Islam.

Tujuan utama KTT ini adalah memperkuat solidaritas dunia Islam dan memberikan tekanan diplomatik kepada Israel serta sekutunya. Melalui deklarasi bersama, para pemimpin berupaya menunjukkan bahwa serangan-serangan militer tidak hanya menjadi masalah Palestina, melainkan ancaman terhadap stabilitas regional yang lebih luas. Tujuan lain yang tidak kalah penting adalah memperkuat posisi tawar negara-negara Arab dan Muslim di forum internasional, khususnya dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung hampir bersamaan.¹

Data survei yang dirilis oleh Arab Barometer pada Agustus 2025 menunjukkan bahwa 74% responden di negara-negara Arab mendukung aksi diplomatik kolektif untuk menghentikan agresi Israel, sementara 21% masih skeptis efektivitasnya, dan 5% tidak menjawab.² Di sisi lain, data dari Pew Research Center (September 2025) mencatat bahwa hanya 36% masyarakat global percaya upaya negara-negara Islam dapat benar-benar menghentikan kekerasan, sementara 47% menilai dampaknya sebatas simbolik.³ Angka-angka ini memperlihatkan kesenjangan persepsi antara masyarakat Arab–Islam dengan masyarakat dunia.

Evaluasi atas hasil KTT ini menunjukkan capaian parsial. Di satu sisi, deklarasi keras menegaskan posisi bersama negara-negara Islam. Namun, di sisi lain, tidak ada sanksi ekonomi atau mekanisme tekanan nyata yang dapat membatasi langkah Israel. Analisis dari Middle East Monitor (20 September 2025) mencatat bahwa deklarasi tanpa instrumen implementasi akan sulit mengubah status quo.⁴ Banyak pengamat menilai bahwa KTT ini lebih sebagai unjuk simbol solidaritas ketimbang upaya transformasional.

Intrik politik juga terlihat jelas. Saudi Arabia, misalnya, menghadapi dilema besar antara menjaga normalisasi hubungan dengan Israel dan mendengarkan aspirasi dunia Islam.⁵ Sementara itu, Turki dan Iran menggunakan forum ini untuk memperkuat citra sebagai pemimpin politik Islam yang vokal. Di sisi lain, negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab terlihat lebih berhati-hati agar tidak merusak hubungan strategis mereka dengan Amerika Serikat. Ketegangan kepentingan ini menjadikan KTT bukan hanya arena solidaritas, tetapi juga panggung persaingan.

BACA JUGA :  Muhammadiyah Selalu Taawun

Meski begitu, ada dampak positif yang tidak bisa diabaikan. Menurut laporan Al Jazeera (21 September 2025), kehadiran lebih dari 40 negara anggota OKI dalam forum ini berhasil menunda agenda normalisasi Israel–Beberapa negara Arab, setidaknya untuk sementara. Efek domino ini menunjukkan bahwa solidaritas politik masih dapat memberi tekanan diplomatis meskipun belum menghasilkan perubahan konkret di lapangan.

Bila dilihat lebih luas, KTT ini mengingatkan kita pada keterbatasan diplomasi dunia Islam. Analisis dari The Diplomat (22 September 2025) menyebutkan bahwa solidaritas Islam sering kali terkendala oleh kepentingan ekonomi dan keamanan domestik masing-masing negara. Dengan demikian, isu Palestina terus menjadi simbol persatuan sekaligus cermin perpecahan. Evaluasi ini penting agar ke depan forum-forum serupa tidak berhenti pada simbolisme, melainkan bergerak menuju kebijakan nyata.

Kesimpulannya, menurut saya, KTT Arab–Islam Luar Biasa 2025 adalah momentum penting untuk mengukur solidaritas dunia Islam, tetapi masih dikelilingi intrik politik yang memperlemah dampaknya. Tanpa instrumen konkret, deklarasi bersama hanya akan menjadi catatan sejarah diplomasi simbolik. Namun, solidaritas yang diperlihatkan tetap memberi makna penting: ada kesadaran kolektif bahwa isu Palestina bukan sekadar konflik lokal, melainkan batu ujian bagi persatuan dan masa depan dunia Islam.

Oleh : Nashrul Mu’minin Content writer Yogyakarta

Penulis: Nashrul Mu'mininEditor: HM