Buat yang Belum Tahu soal Skandal Korupsi BLBI, Ini Asal Muasalnya

Ilustrasi Photo by Mufid Majnun on Unsplash

WARTAMU.ID, Jakarta – Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) mulai menyita aset para obligor dan debitur yang belum melunasi utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dikutip dari finance.detik.com

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut utang yang saat ini dikejar sebesar Rp 110,45 triliun. Pemerintah pun tidak tiba-tiba mengejar utang para obligor BLBI.

Sejarahnya dimulai pada 1997. Kala itu terjadi krisis sektor keuangan sehingga pemerintah memutuskan untuk memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terhadap korporasi atau perseorangan.

“Kemudian pelaksanaan pemulihannya dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional,” demikian dikutip detikcom dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Melansir informasi yang pernah dipublikasikan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pada saat krisis 1997-1998, BLBI diberikan sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

“Kita memahami bahwa 22 tahun yang lalu tahun 1997-1999 terjadi krisis keuangan di Republik Indonesia, dan krisis keuangan tersebut mengenai perbankan yang menyebabkan banyak bank-bank yang mengalami kesulitan, dan pemerintah dipaksa untuk melakukan apa yang disebut penjaminan Blanket Guarantee kepada seluruh perbankan di Indonesia saat itu,” tutur Sri Mulyani, Jumat 27 Agustus 2021.

Singkatnya, berdasarkan pasal 6 Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Masa Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), disebutkan bahwa dengan berakhirnya tugas BPPN, maka segala kekayaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan.

Di Keppres 6/2021 disebutkan dalam pengelolaan kekayaan negara oleh Menteri Keuangan tersebut masih terdapat hak tagih negara atas sisa piutang negara maupun aset properti terhadap beberapa korporasi atau perseorangan, dengan kompleksitas permasalahan yang memerlukan penanganan dan pemulihan hak tagih negara.

Sri Mulyani pun menjelaskan pemilik bank atau debitur yang mendapatkan kucuran BLBI harus mengembalikan dana tersebut.

Dalam rangka penanganan dan pemulihan hak tagih negara atas sisa piutang negara maupun aset properti diperlukan langkah-langkah yang tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antarkementerian/lembaga. Atas dasar itu, dibentuklah Satgas BLBI.

“Jadi ini sebetulnya persoalan yang sudah cukup lama,” jelasnya.

Dia menjelaskan ada beberapa obligor atau debitur yang sedang dipanggil, ada yang langsung datang memenuhi panggilan, ada yang dibutuhkan sampai tiga kali pemanggilan.

“Kita selama ini memanggil dua kali secara personal. Artinya kita tidak publikasikan. Kalau ada niat baik dan mau menyelesaikan kita akan membahas dengan mereka. Namun kalau sudah dipanggil satu kali tidak ada respons, dua kali tidak ada respons maka memang kami umumkan ke publik siapa saja beliau itu dan kemudian akan dilakukan langkah selanjutnya,” tuturnya.

Menkopolhukam Mahfud MD juga menerangkan bahwa proses yang pemerintah lakukan adalah proses hukum perdata. Sebab, hubungan antara debitur dan obligor dengan negara adalah hubungan hukum perdata, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung yang sudah inkracht.

Meskipun putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung ini telah inkracht atau berkekuatan tetap, kata Mahfud bukan tidak mungkin dalam prosesnya juga mengandung unsur pidana.

Dia mengatakan, hal itu bisa saja terjadi apabila debitur atau obligor melakukan hal-hal yang menyimpang dari proses yang seharusnya dilakukan. Misalnya memberikan keterangan palsu kepada Satgas BLBI.

“Misalnya pemberian keterangan palsu, pengalihan aset terhadap yang sah sudah dimiliki negara, penyerahan dokumen-dokumen yang juga palsu, dan sebagainya nanti itu bisa saja menjadi hukum pidana,” tambah Mahfud.

Kasus BLBI pun menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia. Berdasarkan hasil audit investigatif yang diterima KPK 2017 lalu, yakni terkait indikasi tindak pidana korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL BLBI) terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), nilai kerugian keuangan negara dari laporan itu adalah Rp 4,58 triliun.

“Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun,” kata Kabiro Humas KPK yang kala itu dijabat oleh Febri Diansyah di kantornya 9 Oktober 2017.