WARTAMU.ID, Lampung – Dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi, kita sering mendengar bahwa Indonesia adalah negara agraris. Padahal, dalam laporan BPS (Badan Pusat Statistik) 2 tahun lalu, Indonesia memiliki 8.186.469 hektar lahan yang dijadikan sawah (lahan basah), termasuk sawah irigasi dan non irigasi. Sawah harus dibagi rata antara 26.135.469 rumah tangga, dan setiap rumah tangga hanya dapat mengolah 0,31 hektar.
Ada berbagai metode dan literatur yang mengungkap sejarah perkembangan masyarakat. Salah satu rujukannya adalah buku Friedrich Engels The Origin of the Family, Private Property and the State. Sejarah perkembangan masyarakat ditandai dengan ditemukannya berbagai moda dan mode produksi, salah satunya tanah. Tanah merupakan salah satu objek produksi, dan juga merupakan alat produksi bagi kelangsungan dan kelangsungan hidup masyarakat dunia.
Tanah merupakan sasaran produksi pada zaman komune primitif (± 10.000 SM) dan digunakan untuk bercocok tanam, ketika manusia semula masih mengandalkan berburu dan meramu secara alami, ilmu pengetahuan berkembang, pengalaman menumpuk, overproduksi, kemudian diteliti dan dikembangkan pertanian dan bertani, menjinakkan hewan.
Hasil bumi (beras, gandum, dll.) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup akhirnya diubah untuk memenuhi kebutuhan semua orang dan menjadi komoditas yang dipertukarkan sebelum uang diperkenalkan sebagai alat tukar. Produksi komunal primitif membuat langkah besar karena pembagian kerja, keberadaan rumah tangga mandiri, dan penciptaan kepemilikan pribadi yang menghasilkan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan. Pembagian kerja atau spesialisasi lahir.Dalam puncaknya, feodalisme memiliki ciri pokok yakni monopoli tanah. Kelas yang memonopoli tanah ini disebut sebagai tuan tanah. Adapun jenis produksi yang dominan dalam fase ini adalah pertanian dan peternakan. Sedangkan struktur kelas yang terbangun, di kelas pemilik alat produksi ada Raja, Rohaniawan, dan penguasa-penguasa kecil (Vassal).
Orang yang terlibat dalam kerja dan produksi disebut pelayan, dan kebanyakan dari mereka adalah budak dan petani penyewa. Bentuk penindasan terhadap budak ini adalah kerja paksa, seorang pelayan yang bekerja di properti tuan tanah dan kemudian menyerahkan sebagian besar waktunya, dan terkadang semua pendapatannya, kepada tuan tanah. Di era inilah petani dieksploitasi sebanyak mungkin oleh pemilik budak.
Baru-baru ini, insiden perampasan dan penghancuran tanah secara besar-besaran terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah yang mewakili kepentingan publik menggunakan ini sebagai alasan untuk membuka pendekatan pengaturan mereka. Contoh paling sederhana, dalam kasus Yogyakarta, adalah pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) era Joko Widodo.
Dengan dalih kepentingan umum, pemerintah merampas lahan petani di sekitar kawasan Kurumparogo. Di satu sisi, pembangunan negara adalah kebutuhan banyak orang, di sisi lain menggunakan waktu penerbangan yang sudah kelebihan beban dan jumlah penumpang di bandara sebagai dalih adalah rasionalisasi otoritas yang dipatenkan.
Meskipun prinsip kepentingan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau sektor swasta, di sisi lain, prinsip kepentingan umum juga tidak boleh memiliki komponen komersial dan mencari keuntungan. Dilihat dari kasus ini, jelas bahwa NYIA tidak hanya berdasarkan kepentingan nasional, tetapi juga mendapat suntikan modal sebesar US$500 juta dari investor India GVK Power & Infrastructure. petani disana.
Gerakan IMM kedepan terkait Agraria
Upaya gerakan IMM untuk mewujudkan reforma agraria tentu tidak lepas dari implementasi tuntunannya terhadap konstitusi tertinggi Islam yaitu Al-Qur’an. Fondasi gerakan IMM kemudian diwujudkan dengan satu poin kunci yaitu Nilai Dasar Ikatan (NDI), karena core values IMM menjadi landasan bagi para kader untuk merealisasikan nilai-nilai yang ada ,dalam hal ini; Pertama, pada poin “Segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran adalah lawan besar gerakan IMM, dan perlawanan terhadapnya adalah kewajiban bagi setiap kader IMM” pada poin itu sangat jelas bahwa IMM mendorong partisipasi aktif kadernya untuk terlibat dalam persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya di sekitarnya;
Kedua, pada poin “Sebagai gerakan mahasiswa yang berdasarkan Islam dan beranggotakan individu-individu mukmin, maka kesadaran melaksanakan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan sekaligus mempunyai tanggungjawab untuk mendakwahkan kebenaran di tengah masyarakat” artinya IMM berjuang keras dengan hati nurani untuk membumikan amar ma’ruf nahi mungkar dan tergerak individunya untuk membela kaum mustad’afin;
Ketiga, pada poin “Kader IMM adalah inti masyarakat utama, yang selalu menyebarkan cita-cita kemerdekaan, kemuliaan dan kemaslahatan masyarakat, sesuai dengan semangat pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad” artinya selain mewujudkan cita-cita Muhammadiyah yaitu “Terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-wqabenarnya” IMM mampu menawarkan semangat dan terobosan-terobosan atas persoalan keummatan sebagai cerminan praktik sang revolusioner sejati Muhammad SAW yang selaras dengan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH).
Secara teoritik IMM mewakili gerakan dakwah Muhammadiyah dan bergerak dibidang kemahasiswaan. Kader IMM juga harusnya menjalankan fungsi intelektualnya dengan baik. Menurut gramsci “Kita dapat mengatakan semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual”. Melalui teori intelektual organiknya Gramsci berpendapat bahwa intelektual organik harus membentuk hubungan dengan kelompok sosial tertentu untuk memastikan kesetaraan dan pengakuan fungsi intelektual tidak hanya dibidang ekonomi tetapi juga di bidang politik. Intelektual organik bisa datang dari mana saja, bahkan dari kaum borjuis yang ramah petani. Dengan kata lain, kaum intelektual harus mampu melalui ilmunya membebaskan kaum tertindas dari belenggu penindas.
IMM dapat memutuskan langkah strategis apa yang akan diambil, dan yang terpenting dalam perjuangan dan pertahanan adalah pendidikan. Beberapa lembaga sudah tersedia untuk memberikan pendidikan dan mempromosikan ekonomi kreatif. Pendidikan yang paling penting adalah kesadaran kelas dan isu-isuutama yang dihadapi dari prespektif hukum,sosial,politik dan budaya. Ini bukan tanpa memahami masalah dasarnya.
Pendidikan lainnya bisa melalui penyadaran mental terhadap stigma-stigma yang membuat mereka merasa inferior, bodoh, dan tak mampu apa-apa selain bertani. Sembari memberikan penyadaran yang berkelanjutan, program-program taktis semacam ekonomi kreatif, pemberdayaan sumber daya manusia, pelatihan skill dan sebagainya bisa diberikan untuk mengikat dan mengambil hati rakyat sembari memenuhi kebutuhan sementara mereka, terlebih para petani yang sudah tidak ada kerjaan pasca digusur dan dipecat sebagai buruh tani. Sembari memberikan penyadaran-penyadaran ada baiknya mereka dibentengi melalui jalur litigasi terlebih dahulu, seperti menjalin kerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan instansi hukum lainnya.
Agar mereka dapat dibela secara maksimal dan menciptakan gelombang-gelombang perlawanan melalui jalur hukum. Tim advokasi juga harus mampu membuat pemetaan untuk menentukan siapa kawan, siapa lawan perjuangan rakyat agar dalam menentukan strategi dan taktik kedepannya bisa terarah dengan tepat. Yang terakhir untuk menjaga konsistensi dan menyatukan perjuangan kader-kader IMM, hal tersebut bisa diikat dengan membentuk desa binaan yang dibangun di atas hubungan yang kuat dengan penduduk setempat, rencana strategis yang berkelanjutan dan kapasitas untuk menanggapi kebutuhan masyarakat setempat selama masa perjuangan.