Lemahnya Politik Warga Muhammadiyah

Ilustrasi Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay

WARTAMU.ID, Humaniora – Sebagai salah satu Organisasi Masyarakat Islam terbesar di Indonesia yang lahir sebelum adanya NKRI dan berada pada pemerintahan Hindia Belanda. Sampai pada 1 abad lebih usianya kini Muhammadiyah sangat besar, luas dan tersebar ke seluruh wilayah Indonesia baik secara nasional dan internasional. Kebanggan paling besar ialah adanya AUM yakni amal usaha Muhammadiyah di tiga bidang yakni pendidikan, kesehatan dan sosial. Menjadi bukti bahwa Muhammadiyah adalah sang pencerah bangsa ini telah memberikan kontribusi besar untuk bangsa Indonesia. Hadirnya melalui seorang kiyai karismatik, santun, bijak, toleran, sejuk dan mengedepankan Islam rahmatan lil alamin. Mampu berinteraksi pada siapa saja baik kepada pemerintah, kepada bangsawan, kepada masyarakat, kepada saudagar, kepada aktivis, kepada militer, kepada ulama lain, kepada anak-anak, kepada remaja, kepada kaum wanita dan sebagainya. Ide dan pemikirannya terus hidup dan selalu ada sampai kapan pun yang terus diikuti oleh santrinya dan seluruh warga persyarikatan muhammadiyah. Sehingga tak perlu diragukan lagi tentang keislaman, kebangsaan, keindonesiaan, kemanusiaan dan keadilan muhammadiyah di negeri ini.

Kiprah persyarikatan muhammadiyah terlihat dari warganya yang tersebar di seluruh aspek kehidupan baik di pemerintahan, institusi, korporasi, guru, dosen, hakim, insinyur an lain sebagainya di semua lintas profesi. Hal itu dikarenakan pesan Kiyai Dahlan bahwa warga muhammadiyah boleh jadi apa saja namun tetaplah kembali berkhidmat, mengabdi, menghidupkan dan menggerakkan muhammadiyah. Kekuatan spritual ikhlas menjadi pondasi dasar dengan tujuan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan membawa masyarakat menuju pada ridho Allah Swt. Spektrum muhammadiyah kini di era kontemporer-milenial telah meluas, sehingga bila dilihat dari tokoh-tokoh pemimpinnya baik dari tingkat pusat paling atas sampai ranting paling bawah pun beragam ciri khas dalam membawakan kultur muhammadiyah. Tidak jarang di jajaran kader muda memiliki idola masing-masing baik tokoh pendahulu yang telah menjadi sejarah maupun tokoh kekinian yang masih berada berjuang membesarkan muhammadiyah. Tidak jarang internal warga muhammadiyah berbeda pandangan, pendapat dan paradigma terhadap isu-isu kebangsaan baik itu sosial, politik, humaniora, budaya, seni dan sebagainya termasuk dalam aspek agama yang berkaitan dengan Pemikiran Islam sekalilun telah memiliki pedoman HPT yakni himpunan putusan tarjih. Namun doktrin spritual selalu ditanamkan yakni takzim, tawaduk, tawazun harus selalu dikedepankan demi menjaga marwah persyarikatan antar sesama warga muhammadiyah.

Lemahnya politik warga muhammadiyah dalam hal ini ialah bukan pada politik tingkat tinggi melainkan pada politik praktis. Dimana kader yang dimiliki warga muhammadiyah tidak jarang mendapat dukungan secara solid, militan, dan kuat. Sebab muhammadiyah memiliki spektrum yang sangat luas yang di semua lini ada dan hadir. Padahal dalam politik praktis itu untuk menghadirkan pemimpin yang sah dan memiliki legitimasi secara konstitusional. Yang masuk baik pada pilkada, pileg dan pilpres. Sejarah pernah melahirkan Presiden yang pernah lahir dari rahim muhammadiyah baik dari pendidikan maupun dari aktivis organisasi persyarikatan. Namun seiring perjalannya kini tak lagi hadir sosok pemimpin bangsa yang lahir dari rahim warga muhammadiyah dan volumenya sangat kecil sekali serta dukungan yang kurang solid. Hal ini juga bagian dari implikasi kebijakan dimana sejarah juga pernah mencatat bahwa adanya peran ganda dalam memimpin persyarikatan baik untuk politik maupun untuk dakwah yang pada akhirnya diputuskan untuk tidak lagi menggabungkan ke dalam urusan politik. Sehingga secara struktural pepolitikan muhammadiyah sangat lemah dan hampir tidak jarang pernah satu suara dalam memutuskan untuk membawa kader warga muhammadiyah menajdi pemimpin bangsa melalui mekanisme politik praktis. Bahkan secara kultural pun sangat lemah baik dari jajaran atas sampai bawah dalam urusan politik disebabkan perbedaan pilihan yang sangat besar karena tidak adanya arahan, putusan dan acuan dalam membawa kader untuk memimpin bangsa melalui mekanisme politik.

Lantas bagaiamana cara menyikapi aspek politik di tengah warga persyarikatan muhammadiyah. Tentu jawabannya ialah dikembalikan pada Individu masing-masing secara bijak dan arif dalam memilih pemimpin pilihan. Sikap wasathiyyah muhammadiyah menjadikan persyarikatan ini memiliki politik tingkat tinggi dalam melakukan etika politik, moral politik dan kedewasaan politik. Akan tetapi konsekuensinya ialah lemahnya politik secara praktis yang sangat dinamis sehingga tidak pernah membawa kadernya menjadi pemimpin bangsa di level nasional. Padahal sangat penting bila adanya dan hadirnya sosok kader persyarikatan menjadi pemimpin politik bangsa yang secara solid dapat didukung dan dimenangkan bahkan bila perlu disiapkan dan disodorkan secara sistematis dengan arahan aktual dan dukungan realistis. Meskipun aspek pendidikan telah banyak melahirkan kader persyarikatan yang kemudian dapat berkiprah dimana saja khususnya dalam politik.

Sudah saatnya persyarikatan muhammadiyah mengambil bagian untuk menjadi king maker di dalam secara internal, jangan hanya menjadi eks politik saja. Sebab akan lebih leluasa untuk memajukan dan mempercepat gerak langkah ke level nasional dan internasional bila memiliki kekuatan politik sebagai penguasa negeri yang memiliki hak penuh kewenangan dalam mengimplementasikan kebijakan. Karena dengan kebijakan yang berpihak pada persyarikatan melalui pemimpin bangsa ini di tangan seorang kaderd an warga muhammadiyah yang peduli, maka akan lebih leluasa dalam membangun negeri sesuai nilai Islam dan ideologi persyarikatan. Hal tersebut juga guna merebut kontestasi dalam hal politik melalui dakwah, dimana banyaknya ormas Islam di Indonesia yang kini memang orientasinya merebut kursi kekuasaan secara penuh dengan kekuatan masing-masing. Sebab dari sana akan banyak mendapatkan kewenangan secara totalitas dan tidak hanya berada pada urusan internal ormas. Sudah saatnya warga muhammadiyah satu suara dalam memilih pemimpin ke depan, syukur-syukur melalui rahim persyarikatan baik kader atau warga meskipun tidak ada putusan secara struktur, setidaknya masih ada alternatifnya yang lain yakni secara kultural di internal persyarikatan. Agar estafet kekuasaan dapat direbut secara akhlakul karimah dan bisa menjadi hegemoni kekuasaan persyarikatan untuk terus berada di kursi kekuasan khsusnya menjadi presiden, wakil presiden, kepala daerah, anggota dewan, hakim, dll agar Indonesia bernuansa nasionalis-religius atau nasionalis-agamis atau religius-nasionalis dan dapat menekan paham-paham kanan dan kiri yang sangat ekstrimis.

Oleh : As’ad Bukhari, S.Sos., M.A.

(Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik)

Artikel ini merupakan kiriman pembaca wartamu.id. (Terimakasih – Redaksi)