WARTAMU.ID, Kupang, Nusa Tenggara Timur — Dalam terik siang yang menyengat, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, melangkah pelan menuju Masjid Kiai Haji Ahmad Dahlan pada Kamis (5/12). Hanya berjarak 50 meter dari aula sidang pleno Tanwir I Muhammadiyah, ia terlihat sederhana mengenakan sandal jepit berwarna putih dan cokelat bertuliskan merek Alfamart. Tidak ada kesan mewah, hanya aura kesahajaan yang terpancar.
Dilansir dari Maklumat.id, langkah sederhana itu mencerminkan filosofi hidup yang dijalani Haedar Nashir. Kemeja marun, celana hitam, dan kopiah hitam melengkapi penampilan bersahaja seorang pemimpin yang mengelola aset Muhammadiyah senilai Rp13 triliun. Aset tersebut mencakup dana yang pernah disimpan di Bank Syariah Indonesia hingga tanah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Saat waktu salat zuhur tiba, tanpa pengawalan mencolok, ia berjalan sendiri menuju masjid. Setelah salat, ia menyapa para wartawan dengan senyum hangat. Dalam wawancara, Haedar berbicara tentang visi besar Muhammadiyah di luar Pulau Jawa, termasuk perkembangan organisasi di Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
“Perkembangan Muhammadiyah di wilayah-wilayah ini menunjukkan semangat yang luar biasa. Kita harus terus mendukung,” ujar Haedar penuh keyakinan.
Namun, yang menarik perhatian bukan hanya pernyataannya, melainkan gaya hidup yang ia tunjukkan. Di tengah pengelolaan aset bernilai triliunan, ia tetap memilih sandal jepit sederhana. Sandal itu seolah menjadi simbol bahwa jabatan adalah amanah, bukan sarana untuk bermewah-mewah.
Kesederhanaan Haedar juga tercermin dalam pemikirannya. Ia sering mengajak masyarakat untuk menciptakan lumbung hidup, sebuah gerakan bercocok tanam di lahan kecil. Dalam sebuah unggahan di akun Instagram-nya, ia menyebut, “Menanam apa yang bermanfaat adalah investasi jangka panjang.”
Di kampung halamannya, Ciheulang, ia kerap terlihat merawat pohon buah yang telah lama ditanamnya. “Hidup sehat itu murah dan sederhana. Kita hanya perlu lebih banyak mengonsumsi hasil alam seperti buah dan sayuran segar,” tuturnya.
Ia mendorong masyarakat memanfaatkan polybag atau pot sederhana untuk bercocok tanam. Selain menjadi sumber pangan, kegiatan ini juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan. “Bayangkan, kita makan hasil dari keringat sendiri. Ada kebanggaan di situ,” tambahnya.
Haedar Nashir mengingatkan bahwa jabatan tinggi tidak harus menghapus kesederhanaan. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, ia tetap menjadi teladan kesahajaan. Di bawah terik matahari Kupang, langkahnya yang sederhana menuju masjid adalah bukti nyata filosofi hidup yang ia jalani.
Filosofi itu bukan hanya tentang penampilan, tetapi tentang esensi kehidupan — bahwa kekayaan bukanlah tentang apa yang dimiliki, melainkan tentang bagaimana mengelola dan memberi makna pada hidup.