Oposisi Sebagai Kestabilan Kebijakan Di Dalam Rol Model Demokrasi

Ilustrasi Dok Foto Istimewa

WARTAMU.ID, Humaniora – “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor, namun suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”-Soe Hok Gie

Garis besar dari teori dan pelaksanaan demokrasi adalah tentang membangun gagasan yang produktif untuk dapat melangkah lebih jauh melalui satu kesatuan tujuan agar dapat diimplementasikan secara bergotong royong di dalam masyarakat.

Pertukaran ideologi, gagasan, pendapat yang bersifat memojokkan salah satu pihak (egois) terhadap kalangannya maupun kelompoknya hanya akan menghambat proses pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Semua pihak hendak merangkul, menghargai, dan menjalankan secara bersamaan dari pada kebijakan yang di buat agar tercapai kemakmuran yang nyata.

Di setiap pergantian pimpinan akan melakukan rekonstruksi kebijakan maupun peraturan untuk kesesuaian yang ada di sebuah bangsa. Hal ini di sebabkan perubahan pada kondisi sosial, geoekonomi, geopolitik, geostrategi baik secara nasional maupun internasional di setiap zaman.

Di dalam ilmu manajemen kebijakan publik, pada bab tentang pembuat kebijakan diungkapkan bahwa pembuat kebijakan itu terdiri atas 3 elemen. Di antaranya adalah pertama, tokoh publik. Tokoh publik merupakan orang-orang yang beri amanat oleh rakyat untuk memperjuangkan haknya di dalam kursi pemerintahan. Kedua, kelompok yang berkepentingan. Kelompok yang berkepentingan ini merupakan pihak-pihak yang berkepentingan secara politis dengan pejabat-pejabat publik. Mereka juga memperjuangkan haknya menurut kelompoknya masing-masing. Ketiga, masyarakat/rakyat biasa. Merekalah yang akan melaksanakan kebijakan yang di buat oleh para tokoh publik. Namun, kerap kali mereka belum mendapatkan hak-haknya.

Implementasi kebijakan

Kebijakan yang dibuat baik oleh para birokrat dan birokrasi harus saling menguntungkan sebab kebijakan yang dibuat sangatlah kompleks. Namun, sedikit sekali yang dapat menerapkan kebijakan yang dibuatnya.
Kebijakan yang dibuat akan menjadi daun yang gugur diterpa angin karena tidak berhasil diterapkan.

Oleh sebab itu, kebijakan yang dibuat hendak melihat faktor-faktor yang strategis dan mempertimbangkannya agar kebijakan ini menjadi alat untuk memperjuangkan hak rakyat yang nyata. Menurut Fadillah Putra (2001) mengatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan publik sangat tergantung pada tatanan kebijakan publik makro dan mikro. Artinya, formulasi kebijakan publik makro yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, Keberhasilan implementasinya akan dipengaruhi oleh kebijakan publik operasional serta kelompok sasaran dalam mencermati lingkungan.

Pada realitanya, kebijakan yang dibuat selalu bertolakbelakang. Artinya, tokoh publik dan pihak yang berkepentingan hanya akan memperjuangkan haknya sendiri, melupakan hak-hak rakyat yang ada di bawahnya. Menurut Grindle (1980) menyebutkan 3 (tiga) hambatan besar yang acapkali muncul dalam pelaksanaan suatu kebijakan publik, yakni: (1) ketiadaan kerjasama vertikal, antara atasan dengan bawahan; (2) hubungan kerja horisontal yang tidak sinergis; dan (3) masalah penolakan terhadap perubahan yang datang dari publik maupun kalangan birokrasi sendiri. Untuk mengatasi hambatan ini, maka pelaksana kebijakan publik perlu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang berkembang.

Berbeda dengan formulasi kebijakan publik yang mensyaratkan rasionalitas dalam membuat suatu keputusan, keberhasilan implementasi kebijakan publik kadangkala tidak hanya memerlukan rasionalitas, tapi juga kemampuan pelaksana untuk memahami dan merespon harapan-harapan yang berkembang di masyarakat, di mana kebijakan publik tersebut akan dilaksanakan.

Dengan demikian, untuk mencapai implementasi kebijakan yang dibuat diperlukan pendekatan top-down dan bottom-up sekaligus dari birokrasi.

Oposisi sebagai alat demokrasi yang nyata

Menurut KBBI, oposisi adalah partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Ketika kebijakan yang dibuat tidak pro-rakyat maka pihak atau kelompok oposisi akan tampil untuk menggugat. Hal ini akan memberikan kestabilan di dalam pemerintahan.

Oposisi akan menjadi alat yang paling fundamental bagi rakyat ketika kebijakan yang dibuat tidak pro-rakyat. Rakyat yang tidak mendapatkan haknya dapat menjemput bola (bergabung dalam kelompok oposisi).

Oposisi diperlukan untuk memperjuangkan hak masyarakat di kelas menengah- ke bawah. Rakyat dapat melakukan konsolidasi bersama partai-partai penentang kelompok yang berkuasa di dewan perwakilan rakyat.

Namun, apabila yang terjadi tidak ada partai yang beroposisi maka kondisi yang akan terjadi sebagai berikut:

1. Demokrasi yang di impikan oleh rakyat akan bertepuk sebelah tangan.
2. Pemerintah menjalankan negara secara diktator dan otoriter.
3. Pertumbuhan ekonomi menurun sehingga menimbulkan kemiskinan dimana-mana.
4. Peluang kerja untuk rakyat kelas menengah kebawah sangat sulit.

Jika yang terjadi demikian, maka untuk memperjuangkan haknya secara kompleks rakyat dapat membuat komunitas/kelompok yang berjuang secara mandiri atau dapat melalui partai yang baru dan benar-benar pro-rakyat. Perjuangan menjadi oposisi dapat di lakukan dengan mengedepankan asas kemanusiaan, asas gotong royong, asas kebersamaan, dan asas keadilan.