WARTAMU.ID, Hikmah – Muhammadiyah memiliki pandangan yang sangat hati-hati dalam menyikapi bid’ah, terutama dalam konteks ibadah. Dalam pandangan Muhammadiyah, tidak semua perkara baru dalam agama dapat dianggap sebagai bid’ah yang sesat (dlalālah). Pendekatan ini berakar pada pemahaman bahwa selama inovasi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka tidak ada alasan untuk meninggalkannya.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id, Muhammadiyah membedakan dengan tegas antara dua kategori utama dalam agama, yaitu al-Umūr al-Ta’abbudīy dan al-Umūr ghair al-Ta’abbudīy. Al-Umūr al-Ta’abbudīy mengacu pada ranah ibadah yang bersifat khusus, yang diatur secara ketat oleh syariah. Ini adalah area di mana setiap bentuk penambahan, pengurangan, atau inovasi dianggap tidak dibenarkan. Dalam hal ini, Muhammadiyah berpendapat bahwa bid’ah adalah perkara baru yang muncul dalam konteks al-Umūr al-Ta’abbudīy.
Sebagai contoh, dalam urusan ritual ibadah seperti tata cara salat, puasa, atau haji, setiap perubahan atau penambahan yang tidak memiliki dasar dari Al-Quran atau Sunnah dianggap sebagai bid’ah yang dilarang. Hal ini karena ibadah dalam kategori ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan tuntunan yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Segala bentuk inovasi dalam area ini dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip dasar agama, karena mengubah inti dari ibadah itu sendiri.
Sebaliknya, Muhammadiyah juga mengenal kategori al-Umūr ghair al-Ta’abbudīy, yaitu perkara dalam agama yang tidak termasuk dalam ranah ibadah khusus. Dalam kategori ini, terdapat fleksibilitas yang lebih besar karena tidak ada ketetapan syariah yang mengikat secara langsung. Inovasi atau perubahan yang terjadi dalam al-Umūr ghair al-Ta’abbudīy dianggap sah selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Contoh dari perkara ini dapat mencakup praktik sosial, budaya, atau tradisi yang mungkin berkembang setelah masa Nabi, namun tetap sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Menurut Fajar Rachmadhani, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DI Yogyakarta, Muhammadiyah sangat berhati-hati dalam menggunakan terminologi “bid’ah” untuk menghukumi perkara-perkara baru yang tidak secara eksplisit dilarang oleh syariah. Muhammadiyah lebih memilih untuk menggunakan istilah-istilah yang lebih netral dan tidak menimbulkan perpecahan, seperti “tidak ada tuntunan untuk itu” atau “dalilnya lemah”.
Fajar menambahkan bahwa hal ini dilakukan untuk menghindari ketegangan dan perselisihan di tengah umat, khususnya dalam masalah-masalah khilafiyah yang masih diperdebatkan oleh ulama. Sikap ini juga mencerminkan keinginan Muhammadiyah untuk menjaga kesatuan umat sambil tetap melaksanakan purifikasi ajaran Islam. Sebagai bagian dari strategi dakwahnya, Muhammadiyah mengedepankan pendekatan kultural yang persuasif, bukan dengan cara-cara yang frontal atau radikal.
Implementasi pendekatan ini terlihat dalam bagaimana Muhammadiyah merumuskan konsep Dakwah Kultural, yang bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali kepada kemurnian ajaran agama tanpa menciptakan ketegangan sosial. Langkah-langkah purifikasi ini dirancang untuk memetakan antara ibadah yang bersifat tetap dan tidak boleh diubah, serta praktik-praktik keagamaan yang lebih dinamis dan dapat disesuaikan dengan konteks zaman, asalkan tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Referensi:
Fajar Rachmadhani, “Konsep Bid’ah Perspektif Muhammadiyah; Kajian Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah”, dalam Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 18 No. 1, Maret 2020.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 4, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), 271-272.