WARTAMU.ID, Humaniora – Awal kata dari penulis yang terbiasa dalam membuat kajian akademis ataupun kajian yang berbasis pada data dan fakta. Hari ini penulis mencoba untuk lebih menyelami politik dari sudut pandang rasionalitas bukan hanya aspek empiris dalam melahirkan sebuah gagasan. Dalam melihat aspek politik penulis mengkontemplasikan lagi apa yang dikatakan Otto Von Bismarck yaitu “Politik bukanlah sebuah ilmu pengetahuan melainkan seni” yang bisa diartikan dalam konteks luas bukan hanya tentang aspek yang bersifat terukur dan terarah, namun juga aspek-aspek batin dan rasa dalam melihat sebuah kejadian politik.
Jauh sebelum dunia modern dipaksa lahir oleh zaman, ada suatu peradaban di ujung selatan semenanjung Balkan, kampung halaman para dewa yang sibuk dengan selangkangan dan minum kerasnya yang bersamayan di gunung-gunung tinggi. Menjadi tempat yang sama yang merahimi ilmu dan peradaban barat, terdapat masyarakat yang dituntut untuk mengaktifkan seluruh akal sehat dan membuka kesadaran, tempat para filsuf menawarkan gagasannya dan dialektika terus dihidupkan oleh angin kebebasan dan rasa toleransi.
Dewasa ini, masyarakat sudah mengalami perubahan yang radikal dan mendistrubsi kancah politik di Indonesia. Hal ini dilandaskan banyaknya generasi baru yang mungkin tidak mengetahui situasi politik pra-reformasi saat ini sudah memiliki hak pilih dan memiliki tidak sedikit yang sudah terjun pada ring tinju yang disebut “PEMILU” di tahun 2024 nanti. Akan ada pesta tanpa undangan yang Bernama politik, setiap tamu yang datang akan lupa dengan siapa dia berdansa. Mungkin dia ulang dengan gembira, atau malah malu untuk mengetuk pintu rumah. Bisa jadi karena kepergiannya tidak disertakan izin atau malah karena semuanya dilandaskan kesenangan semu semata. Sang pembuat pesta akan berkata “aku tidak bertanggung jawab atas kemalangan kalian kelak, karena aku hanya ingin bersenang-senang”.
Generasi yang lahir di tahun diakhir tahun 1996-an dan awal 2010 yang kerap kita panggil Gen-Z adalah generasi yang tidak memiliki banyak kejadian-kejadian politik nasional yang benar-benar sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Berbeda dengan generasi Boomer atau pre-boomer yang mungkin mengalami banyak kejadian nasional yang disaksikan secara komprehensif. Mulai dari Masa Bersiap, masa revolusi, pemberontakan PKI, Operasi Seroja, Krisis Moneter 98, sampai Krisis ekonomi di tahun 2008 sangat kontras dengan generasi Gen-Z yang mungkin hanya memahami Pandemi COVID-19 yang memaksa adanya transformasi besar-besar pada pola-pola tua yang biasanya terjadi pada masyarakat.
Pandemi COVID-19 dan kebiasaan baru adalah babak baru dari bagaimana GEN-Z melihat sebuah pola masyarakat. Pada dasarnya sangat sulit dalam menebak aspek sosiologis apa yang terjadi pada masyarakat. Dengan banyaknya platform social media mendorong adanya distrubsi besar dalam opini yang tersebar pada setiap platform. Hal ini juga mendorong adanya polarisasi setiap opini yang tersebar di masyarakat. Hal ini baik tapi tidak baik dalam waktu yang sama. Steven Levitsky menulis sebuah buku “how democracy die” menuliskan bahwa dampak buruk adanya demokrasi juga adalah Ketika sebuah kebenaran yang ada bukan bedasarkan kebenaran bisa dibuktikan secara rasional ataupun ilmiah. Tapi sebuah kebenaran yang diakui oleh mayoritas. Degredasi masyarakat yang menurun secara moral dan juga intelektual menghasilkan sebuah status quo bahwa situasi saat ini sangat tidak memungkinkan adanya perdebatan yang berbasis pada argumentasi jika itu menyakiti perasaan mayoritas yang pada akhirnya melahirkan perdebatan yang berbasis pada tedensi atau pemikiran umum yang ada dipercaya pada masyarakat.
Gen-Z sebagai subjek pemilu 2024 menghadapi masalah-masalah yang terkadang di marginalkan oleh golongan-golongan tua. Contoh sederhana yang mudah ditemukan adalah masalah Kesehatan mental. Golongan tua kurang teredukasi soal pentingnya Kesehatan mental pada anak dan mengagapnya sebagai bentuk “lembeknya” masyarakat gen-Z pada masalah kehidupan. Padahal Presiden Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) Sadersan Onie mengukapkan bahwa mental gen Z saat ini memang lebih rentang depresi. Hal ini disebabkan lingkungan mereka yang jauh lebih kompetitif dan memiliki pressure yang jauh lebih besar dibandingkan pada zaman orang tua mereka (Column, 2022). Beberapa poin lain yang tidak disentuh oleh politikus golongan tua juga seperti olahraga elektronik, entertainment, dan lain sebagainya. Selain itu permasalahan seperti ideologisasi dan juga politik nilai kurang diajarkan oleh golongan tua kepada golongan muda, akhirnya anak muda yang masuk kedalam politik mengagap politik sebagai sebuah ajang transaksional jabatan pada masyarakat luas.
Kehilangan arah dari Gen-Z ini dikhawatirkan selanjutnya akan melahirkan lost generation dalam politik di Indonesia. Sebuah generasi yang tidak memahami politik dan juga apatis pada politik. Bagi penulis trandingnya konten dari seorang TikTokers awbima soal infrastruktur di Lampung adalah bukti bagaimana kekecewaan besar golongan muda pada politik di negara mereka. Golongan muda saat ini mengalami banyak sekali kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Dalam hal ini bagi seorang penulis ada banyak hal yang hilang dari generasi ini yang mengakibatkan ada banyak masalah-masalah di Indonesia. Jika dipertanyakan apa masalah utama dari bobroknya sistem politik di Indonesia maka penulis akan langsung mengatakan supremasi hukum dan moralitas adalah krisis yang menjadi sumber permasalahan di Indonesia. Supremasi hukum merupakan upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara. Oleh karena itu, supremasi hukum tidak sekedar ditandai tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, melainkan harus diiringi kemampuan menegakkan kaidah hukum (MKRI, 2021). Supremasi hukum sebenernya sudah menjadi budaya di Indonesia.
Setelah pasca kolonialisme generasi Indonesia mengalami fase amnesia sejarah yang besar soal siapa kakek moyang mereka. Bahkan generasi yang lahir dimasa revolusi kemerdekaan atau masa Bersiap tidak tau menahu soal diri mereka selain generasi yang lahir dari anak dan cucu dari bangsa pernah terjajah. Hal ini bisa terjadi karena orang Indonesia mengagap sejarah hanya sebuah data dan kisah masa lampau yang tidak perlu lagi diingat lagi. Padahal sesuatu yang dilupakan saat ini adalah sebuah pelajaraan akan kebijakasanaan. Sejarah bukan hanya sebuah data atau cerita untuk mengingat masa lampau. Namun sebagai contoh pelajaraan yang diharapkan mendorong ada kebijaksanaan untuk generasi selanjutnya.
Amnesia sejarah melahirkan kekaburan pada masyarakat yang berimbas banyak orang yang kehilangan jati diri mereka. Permasalahan yang sebenarnya selesai ratusan tahun yang lalu Kembali lahir menjadi permasalahan yang dimasyarakat dan generasi yang lahir di era disrupsi media kehilangan identitas nasional dalam memandang bangsa mereka. Dewasa ini, sudah menjadi hal biasa jika kita mendengar kasus korupsi, nepotisme, dan inkonstitusional dalam kehidupan bernegara. Hal ini seperti sudah menjadi tradisi di Indonesia dan juga menjadi hal yang di normalisasi serta lumrah dalam kaedah bernegara. Sejatinya jika kita membahas Indonesia harusnya kita membahas bukan hanya saat colonial. Namun, saat zaman feodalisme masih berdiri di tanah Nusantara.
Di abad 5 M sudah berdiri di utara pulau jawa sebuah kerajaan bercorak budha yang Bernama Holing yang terkenal dengan ratu Shima yang terkenal akan keadilannya dan juga kejujurannya. Seorang ratu yang rela menghukum Putera Mahkotanya sendiri karena dianggap melawan hukum. Kerajaan-kerajaan yang berdiri di Nusantara mulai dari Kutai di Kalimantan, Kedatuan Sriwijaya di Sumatera, dan daerah-daerah lain tidak pernah memiliki sejarah akan permasalahan isu rasisme di kerajaan mereka. Hal ini dibuktikan mereka adalah bangsa pedagang yang membuka diri pada pelancong-pelancong yang berasal dari luar negeri melalui bandar-bandar atau “kota Pelabuhan”. Sunda palapa, Palembang, Lamuri, Lampung, Padang, dan kota dagang lain adalah bukti bahwa dari dahulu penduduk nusantara tidak pernah alergi dengan orang asing. Di abad 13 M berdiri kemaharajaan Majapahit yang dibangun setelah Raden Wijaya mengusir tentara Mongol dari Pulau jawa. Di tangan Sri Maharaja Hayam Wuruk dan juga Mahapatih Gajah Mada berhasil membuat negara yang sangat besar. Hal ini tidak dilakukan semalam, namun dengan perjuangan yang panjang.
Di era Majapahit dibuat sebuah Undang-undang yang disebut Kutaramanawa yang dibuat berisi aturan-aturan di mandala kemaharajaan Majapahit. Mahapatih Gajah Mada adalah orang biasa yang dilahirkan dari rahim rakyat bukti akan adanya sistem yang kokoh dan demokratis yang diturunkan oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi seorang ratu yang mengokohkan pondasi di kerajaan majapahit bahwa seorang dinilai dari kemampuannya bukan dari keturunan mana dia dilahirkan. Sri Maharaja tidak bisa tiba-tiba mengkalim kekuasaannya, seorang maharaja harus bisa membuktikan dirinya bahwa dia layak menjadi Maharaja. Dalam kitab Pararaton Wikramawardhan yang merupakan penerus Hayam Wuruk tidak mampu untuk membuktikan dirinya maka banyak mandala yang bubar dan tidak lagi berinduk ke Maharaja.
Ketidaktahuan Gen-Z pada sejarah masa lalunya dan kaburnya mereka pada identitasnya melahirkan masyarakat yang tidak bermoral dan tidak memiliki yang disebut “national will”. Bangsa yang tidak mengenal sejarah bangsanya akan mudah didikte orang bangsa lain dalam identitasnya. Selama ini pemerintah memiliki keinginan untuk melakukan melakukan pendidikan politik pada generasi muda dengan mennggunakan instrumen pendidikan formal, organisasi kemahasiswaan, ataupun lewat partai politik. Namun, sudah menjadi hal yang umum bahwa yang tertarik memiliki maksud tertentu seperti transaksi posisi jabatan, uang, dan lain sebagainya yang bersifat pragmatis. Tidak ada gerakan ideologis yang dipelopori oleh Gen-Z ataupun gerakan yang memiliki karakteristik, oleh sebab itu pemerintah harus lebih mengalakan dekolonilisasi sebuah mental. Mental kaum terjajah yang hanya fokus memperkaya dirinya sendiri yang dilakukan lewat pengenalan sejarah-sejarah nusantara yang tidak dihadirkan sebagai data dan kisah tapi sebuah kebijaksanaan.
Pemilihan umum di tahun 2024 adalah pesta politik yang dihadiri oleh muka-muka baru, dihadiri oleh para pemilih baru. Generasi yang baru saja bangkit dari pandemi global yang merebut banyak nyawa. Politik uang ataupun identitas sudah bukan lagi barang tranding yang disukai oleh generasi yang sudah merasakan globalisasi. Mayoritas Gen-Z adalah kumpulan orang yang sudah kehilangan kepercayaan pada konsep-konsep politik using yang ditawarkan oleh generasi tua. Pada kenyataannya bisa dirasakan isu mental health dan E-Sport jauh lebih menjual dibandingkan isu ketahanan pangan dan keamanan nasional. Setiap anak jauh lebih bermimpi menjadi seorang content creator ataupun streamer gamer dibandingkan harus bekerja sebagai PNS ataupun TNI-Polri (Tim Redaksi, 2022). Dengan meningkatnya konsep literasi keuangan tentang passive income dan instrument investasi generasi Z sudah tidak terlalu tertarik dengan pesangon hari tua dan juga dan pension.
Manifesto politik adalah jalan baru dalam menyusun catur politik di Indonesia. Generasi tua harus berhenti menggunakan ego dan menglorifikasi pengalaman mereka pada masa lalu, hari ini ada ratusan platform social media yang bisa diakses, ada banyak dirsubsi media yang bisa diperoleh, isu-isu sosial bukan hanya tentang Sembako dan kepastian pekerjaan. Keterlibatan golongan muda bukan hanya dijadikan mesin pencari suara tapi harus masuk dalam lingkaran dalam partai, menduduki kursi-kursi strategis yang selama ini hanya diduduki politisi senior dan para pemilik modal. Keterlibatan golongan muda akan mendorong adanya perubahan peta politik nasional dan secara bersama juga mengembalikan adanya kepercayaan golongan muda akan harapan adanya perubahan dalam politik nasional.
Politik harus terbuka dan sensitif pada isu-isu baru pada masyarakat, selain terus harus berperang dengan kasus korupsi dan juga kemiskinan yang mengerogoti negara selama bertahun-tahun. Langkah pemerintah untuk merevolusi perpolitikan untuk merubah politik yang awalnya sebuah pangilima yang selalu benar dalam lini kehidupan harus tunduk pada kepentingan ekonomi yang mendorong kesejahteraan. Kaum radikal dan idealis harus masuk ke dalam pemerintah dan parlemen untuk mendorong pertempuran kepentingan dan ideologi dalam gelangang politik.
“Salus populi suprema lex” hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat bahwa tidak ada yang lebih penting daripada mendorong kesejahteraan umum dan juga mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan jalan ini merupakan jalan terjal karena akan melawan kepentingan para borjuis yang sudah menghisap kekayaan negara ini puluhan tahun. Namun, roma tidak dibangun dalam semalam, melainkan dengan batu demi batu tiap jamnya. Selama harapan masih ada maka masih ada kemungkinan akan perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Column, S. (2022, 12 7). KESEHATAN MENTAL GENERASI Z DAN MILENIAL DISEBUT YANG PALING LEMAH. Retrieved from https://communication.binus.ac.id/: https://communication.binus.ac.id/2022/12/07/kesehatan-mental-generasi-z-dan-milenial-disebut-yang-paling-lemah/
MKRI. (2021). Ketua MK: Supremasi Hukum Harus Disertai Kemampuan Menegakkan Kaidah Hukum. Retrieved from MKRI: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=8923
Tim Redaksi, C. I. (2022, 6 1). Tak Seindah Dulu, Kini Milenial & Gen Z Pada Ogah Jadi PNS! Retrieved from CNBC: https://www.cnbcindonesia.com/news/20220601063728-4-343392/tak-seindah-dulu-kini-milenial-gen-z-pada-ogah-jadi-pns