RAGAM  

Kisah Wanita Kaya, Pemuda Miskin dan ‘Marital Health’

Ilustrasi Foto (Pixabay)

KISAH WANITA KAYA, PEMUDA MISKIN

dan ‘MARITAL HEALTH’

“Demi Allah, aku tidak pernah memperoleh pengganti

yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku

ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku

tatkala semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta

di saat semua orang enggan memberi. Dan darinya aku

memperoleh keturunan – sesuatu yang tidak kuperoleh dari

isteri-isteriku yang lain” (HR Ahmad).

Saking pentingnya fungsi kisah, Allah menurunkan satu surat yang dinamakan dengan surah Al-Qashash; kisah-kisah. Menurut Ath-Thahir (2017), penulis buku “Shahih qashashil Qur’an” (Kisah-kisah dalam Al-Qur’an), umat manusia ditakdirkan untuk memulai sejarahnya sejak awal kehidupan manusia pertama ketika Adam As. diciptakan dan diturunkan ke bumi. Dari sinilah muncul gagasan pertarungan antara yang hak dan batil, antara kebaikan dan keburukan; kebaikan yang diwakili oleh risalah-risalah samawi, dan keburukan yang diwakili oleh sikap mengikuti hawa nafsu dan kebatilan.

Pertarungan ini mengisi lembah-lembah sejarah sesuai ukurannya, lalu muncullah rentetan peristiwa-demi peristiwa yang saling terkait satu sama lain tanpa ada satu pun peristiwa yang terlepas darinya. Bahkan, rentetan peristiwa ini menjelma dalam tumpukan bangunan, yang setiap batu bata dalam bangunan sejarah yang bertumpu kepada kenabian itu mencerminkan satu peristiwa sejarah, sehingga setiap masa tidak pernah terlepas dari keberadaan para nabi dan rasul, sampai ditutup oleh Nabi Muhammad Saw. “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan; dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya mereka akan diberi karunia yang besar dari Allah” (QS Al-Ahzab [33] ; 45-47).

 Masa kini tidak lain adalah anak sah dari masa lalu, dan Islam tidak lain adalah fase terakhir pemakmuran bumi, serta risalah yang petunjuk umat manusia mencapai titik kesempurnaan di dalamnya. Oleh karena itu, kisah-kisah orang terdahulu patut direnungkan dan menjadi bahan pelajaran. Memang benar kisah “Romeo and Yuliet” ini tidak tercantum di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Namun beliau sang Nabi Saw. dikenal sebagai “The living Qur’an”. Maka sudah sepatutnya umat Islam belajar dari salah satu kisah hidupnya.

Nabi Muhammad Saw. menegaskan bahwa cinta berada dalam kuasa Allah : “Inilah kesanggupanku (menerapkan keadilan dalam bidang non-cinta terhadap isteri-isteriku). Maka, janganlah tuntut aku (menyangkut keadilan cinta) yang menjadi milik dan wewenang-Mu dan bukan dalam kemampuanku”. (Diriwayatkan oleh pengarang kitab Sunan melalui Aisyah Ra.) (Shihab, 2018).

Sayyidina Ali Ra. melukiskan Nabi sebagai : “Beliau adalah orang paling terbuka tangannya untuk memberi, yang paling berani hatinya menghadapi bahaya, paling benar dalam ucapannya, paling setia memenuhi janjinya, paling lemah lembut budinya, paling baik pergaulannya. Siapa yang melihat sepintas, dia merasakan wibawanya dan siapa yang telah bergaul lama dengannya, dia akan mencintainya”. Itulah sedikit gambaran tentang Muhammad Saw. yang tidak mungkin dapat dilukiskan kepribadiannya secara utuh. Sungguh tepat Iman Al-Bushiri dalam Burdah-nya ketika menyatakan : “Batas pengetahuan tentang beliau adalah beliau seorang manusia dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Allah seluruhnya”. Di samping itu, perlu dicatat bahwa riwayat-riwayat berbeda tentang usia Muhammad dan Khadijah ketika mereka menikah. Yang populer adalah Muhammad Saw.  berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun. Tetapi ada riwayat yang menyatakan beliau menikah dengan Khadijah dalam usia tiga puluh tahun dan Khadijah 35 tahun. Ibnu Ishaq  meriwayatkan bahwa Khadijah ketika itu berusia 28 tahun, tetapi ini diriwayatkannya tanpa sanad (rentetan perawi). Perkawinan mereka dikaruniai  2 putera, Al-Qasim dan At-Thayyib/At-Thahir; 4 puteri, Ruqayyah, Zainab, Ummi Kultsum dan Fathimah (Shihab, 2018).

Sejarah Singkat Khadijah

Menurut Umar (2017), dia si wanita kaya adalah Khadijah binti Khuwailid ibnu Asad ibnu ‘Abdil ‘Uzza ibnu Qushay. Pada nama Qushay, kakeknya yang keempat, nasabnya Khadijah bertemu dengan Rasulullah Saw. Ibu Khadijah bernama Fatimah binti Za’idah. Nenek Khadijah dari pihak ibu bernama Halah binti ‘Abdu Manaf. ‘Abdu Manaf adalah kakek ketiga Rasulullah. Jadi, dari pihak maupun ibu Rasulullah dan Khadijah memiliki hubungan kekerabatan yang dekat.

Ayah Khadijah, Khuwailid, terkenal sebagai lelaki yang cerdas, kaya, terhormat, berakhlak mulia, jujur dan bisa dipercaya. Khadijah juga memiliki saudara sepupu Waraqah ibnu Naufal ibnu Asad, salah satu dari empat orang Arab yang menolak penyembahan berhala oleh kaum Quraisy. Salah seorang dari mereka berkata : “ Kaum kami telah menyalahi agama Ibrahim –leluhur mereka sendiri. Mereka menyembah batu yang tidak mendengar dan tidak melihat, yang tidak mendatangkan manfaat maupun bahaya. Kita harus mencari agama yang benar”.

Empat orang ini kemudian pergi mencari jalan masing-masing. Yang mereka cari adalah hanifiyyah, agama Nabi Ibrahim. Setelah pencarian sekian lama, Waraqah akhirnya memeluk agama Nasrani dan mempelajarinya. Waraqah pun kemudian dianggap sebagai salah satu dari sedikit orang yang paling mengetahui ajaran-ajaran agama Nasrani di masanya.

Khadijah lahir 15 tahun sebelum Rasulullah. Khadijah muda adalah seorang gadis yang cantik parasnya dan baik perilakunya. Suami pertamanya adalah Abu Halah an-Nabbasy ibnu Zurarah at-Taymi. Pernikahan ini berakhir ketika Abu Halah wafat meninggalkan dua anak laki-laki, yakni Hindun dan Halah (Hindun dan Halah adalah nama-nama perempuan. Tetapi, orang-orang Arab juga menggunakan nama-nama perempuan untuk anak laki-laki mereka).

Khadijah kemudian menikah lagi dengan ‘Athiq ibnu ‘Aidz al-Makhzumi. Dari suaminya yang kedua ini, Khadijah memperoleh seorang anak perempuan – lagi lagi – diberi nama Hindun. Hindun menikah dengan sepupunya sendiri yang bernama Shfiy ibnu Umayyah ibnu ‘Aidz al-Makhzumi. Keturunan Khadijah dari pernikahan keduanya ini sempat tinggal di Madinah dan sering disebut dengan Bani Thahirah (Keturunan Wanita Suci).

Di masa jahiliyah, Khadijah diberi gelar “wanita yang suci” (thahirah). Setelah dua kali menikah, banyak lelaki yang meminangnya dengan menawarkan sejumlah harta sebagai maskawin. Tetapi Khadijah menolak semua pinangan itu. Perhatiannya difokuskan pada upaya mengasuh anak dan mengelola perdagangan.

Dalam dunia perdagangan saat itu, Khadijah adalah nama yang sangat diperhitungkan. Hampir setiap kafilah memuat barang dagangannya dalam jumlah besar. Khadijah juga memperkerjakan orang-orang Quraisy yang jujur dan tepercaya untuk mengawasi barang-barang dagangannya itu.

Keistimewaan Khadijah dan ‘love not at first sight’

Menurut Umar (2017), bahwa Khadijah memperoleh pemeliharaan dan bimbingan langsung dari Allah sepanjang hidupnya. Allah-lah yang mengarahkan Khadijah untuk menjadi teman hidup Rasulullah. Allah pula yang memunculkan tekad di hatinya untuk senantiasa membela, membangkitkan tekad dan mengobarkan semangat suaminya itu. Allah yang menganugerahkan kepadanya akal yang cerdas dan akhlak yang mulia. Allah pula yang menjaganya dari segala cela sehingga penduduk Mekkah menjulukinya dengan “wanita suci” (thahirah).

Khadijah ditakdirkan untuk mengelola sendiri urusan-urusan perdagangannya, dengan itu ia belajar bersabar dan bersikap tegas dalam mengambil keputusan. Pengalaman itu membuat Khadijah tidak pernah kehilangan semangat serta tidak pernah ragu mengorbankan harta dan jiwa raganya dalam membela agama Islam. Ia tetap tegar menghadapi setiap permusuhan dan intimidasi kaum aristokrat Quraisy. Imannya tidak pernah goyah. Dalam membantu Rasulullah melawan tipu daya mereka, ada kalanya menggunakan pikirannya yang cerdik. Tetapi, ada kalanya juga ia mencurahkan kasih sayang seorang ibu atau cinta seorang isteri. Dihadapinya semua tantangan dengan keberanian dan keteguhan hati. Tak pernah ia gentar maupun gusar. Ia selalu tenang dan sabar.

Bimbingan Allah pula yang membuatnya menolak setiap lamaran dari para bangsawan Quraisy sebelum akhirnya ia menikah dengan pemuda Muhammad. Allah yang memberinya petunjuk untuk memilih Muhammad sebagai pengelola urusan dagangnya ke Syam. Kekagumannya kepada integritas moral dan kemuliaan akhlak Muhammad juga bagian dari takdir Allah yang terencana. Dan itu membuatnya mampu melampaui segenap adat kebiasaan masyarakat jahiliyah sehingga ia sendiri yang memutuskan untuk memilih Muhammad sebagai pendamping hidupnya. Pilihan itu, tidaklah didasarkan atas kekayaan materi dan otoritas sosial, melainkan atas dasar budi pekerti Muhammad yang luhur – karakter yang membuat masyarakat Mekkah menjulukinya yang terpercaya, al-amin.

Bagi Khadijah, harta dan kekayaan materi adalah sesuatu yang tidak permanen. Sementara adat dan tradisi jahiliah, menurutnya, adalah seperangkat konvensi yang ditetapkan oleh para leluhur dalam menangani persoalan-persoalan spesifik di zaman mereka sendiri. Ketika zaman telah berubah, sebagian dari adat dan tradisi itu tidak lagi memadai untuk dijadikan pedoman. Pertimbangan itulah yang membuat Khadijah menjadi pelopor bagi upaya memberi hak pada kaum wanita untuk memilih teman hidup mereka sendiri. Tidak seorang pun berhak memaksanya untuk duduk manis di rumahnya, menunggu datangnya seorang lelaki yang melamarnya. Khadijah berpendapat bahwa wanita juga berhak melakukan pendekatan kepada lelaki yang ia inginkan untuk menjadi suaminya.

Setelah menikah dengan Muhammad, Khadijah menyerahkan semua urusan perdagangan serta pengelolaan finansial kepada suaminya yang terkenal cerdas dan jujur. Ia juga mendukung keputusan suaminya itu untuk bersedekah kepada fakir miskin dan membantu orang-orang yang tertimpa kemalangan. Khadijah memang sejak awal memiliki karakter yang mulia. Keputusannya itu ternyata tidak salah; harta di tangan Muhammad selalu bertambah sebanyak yang ia sedekahkan.

Allah pula yang membimbing Khadijah untuk tidak menghalangi suaminya melakukan uzlah di Gura Hira’, menyendiri dan menjauhi praktik penyembahan berhala serta kehidupan hedonis di Mekkkah selama sebulan penuh setiap tahun. Khadijah tidak saja membiarkan Muhammad, suaminya, melakukan uzlah. Ia bahkan berusaha mendorong dan menyiapkan perbekalan untuk keperluan uzlah suaminya tercinta itu.

Tuntunan Agama dan ‘Marital Health’

Agama adalah ketentuan-ketentuan Tuhan yang membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia berperan ketika pemeluknya memahami, menghayati, dan mengamalkan ketentuan itu dengan baik dan benar. Agama akan lumpuh serta fungsi dan peranannya hilang jika pemahaman, penghayatan, dan pengamalan itu tidak mendapat tempat dalam kehidupan pemeluknya. Karena itu, perlu diulas tuntunan agama menyangkut perkawinan, serta fungsi dan tujuannya (Shihab, 2018).

Adapun tuntunan agama  di seputar perkawinan menurut Shihab (2020), adalah :

  1. Taaruf

Kata “taaruf” terserap dari bahasa Arab ta’aruf yang bersumber dari kata ‘arafa dalam arti mengetahui atau mengenal. Penambahan huruf ta’ disertai dengan perubahan bentuk kata, menjadikan kata ta’aruf menggambarkan dua pihak yang saling mengenal. Al-Qur’an menggunakan kata tersebut dalam konteks penciptaan manusia, lelaki dan perempuan, bersuku-suku, berpuak-puak dan berbangsa-bangsa yang tujuannya ayat 13 surah Al- Hujurat [49] agar mereka bertaaruf yakni saling mengenal. Para pakar menegaskan bahwa saling mengenal adalah cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu kerja sama untuk saling melengkapi atau paling tidak untuk mengakui eksistensi yang dikenal dan menghormatinya, walaupun tidak menyetujui pendapat, kepercayaan, dan sikapnya. Dalam perkembangan lebih jauh kata “taaruf” banyak digunakan dalam konteks menemukan jodoh antara lain hadir di majalah-majalah kolom cari jodoh atau biro jodoh.

Islam tidak menghalangi hal tersebut walau itu belum dikenal secara luas pada generasi yang lalu apalagi pada masa Nabi Saw. tetapi ide mencari jodoh atau menjodohkan sangat didukung oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Pada masa Nabi Saw. ada saja lelaki yang menikah sebelum mengenal bahkan melihat calon isteri atau sebaliknya calon suami. Sikap semacam ini dicegah Nabi Saw. “Pergilah melihatnya, karena itu mengundang kelanggengan hubungan kalian” (HR al-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Begitu sabda Nabi Saw. dan tidak menjelaskan batas yang boleh dilihat. Ada ulama yang sangat ketat sehingga beranggapan hanya wajah dan telapak tangannya atau paling tinggi bersama kakinya dan ada juga yang demikian longgar sehingga membolehkan melihat selain aurat “yang besar”. Agaknya pendapat moderat adalah yang membolehkan melihat dalam batas-batas yang dinilai wajar oleh masyarakat terhormat.

Memang tidak semua anggota masyarakat pada masa Nabi Saw. demikian itu keadaannya. Lebih dari sekedar melihat pun bahkan membicarakan rencana pernikahan antar calon pasangan dan melamar secara langsung pun dibenarkan. Bukan hanya lamaran dari pihak lelaki, pihak perempuan pun boleh melamar, bahkan sekian banyak perempuan yang menyampaikan minatnya kepada Nabi Saw. agar mereka beliau kawini (baca QS Al-Ahzab [33] : 50).

  1. Aurat

Kata ‘aurat terdiri dari huruf ain, wauw dan ra’ yang mempunyai  dua makna dasar; beredar atau berurutnya sesuatu dan penyakit di salah satu mata manusia (buta sebelah). Dari sini, dalam kamus-kamus bahasa aurat diartikan antara lain dengan kerusakan atau aib/keburukan yang terdapat pada sesuatu. Ia juga digunakan dalam arti tempat yang ada kekurangannya sehingga dikhawatirkan masuknya musuh dari celah atau kekurangan itu (QS Al-Ahzab [33] : 13). Matahari jika dilukiskan dengan kata tersebut maka itu berarti tempat terbit dan tenggelamnya seakan- akan di sana ada lubang tempat ia tenggelam.

Dalam bahasa agama Islam, aurat adalah bagian-bagian tertentu dari tubuh lelaki dan perempuan yang tidak boleh ditampakkan. Bisa jadi penamaannya demikian, karena bagian-bagian jasmani tersebut berpotensi mengakibatkan keburukan atau aib bila tampak atau ditampakkan kepada orang-orang tertentu. Berbeda-beda pendapat ulama menyangkut batas aurat. Aurat lelaki (dewasa) adalah antara pusat dan lututnya sehingga ini berarti paha termasuk aurat. Demikian pendapat mayoritas ulama. Ada juga yang memahami ungkapan “antara pusat dan lutut” dalam arti apa yang terdapat di pertengahan pusat dan lutut yakni alat kelamin. Tetapi pendapat ini tidak dianut oleh mayoritas ulama. Lelaki berkewajiban paling tidak secara moral, kalau enggan berkata secara hukum, untuk tidak menampakkan bagian tubuhnya yang dapat mengundang rangsangan birahi atau pelanggaran etika dan budaya.

Adapun aurat perempuan dewasa, maka perbedaan menyangkut aurat mereka sungguh beragam, mulai dari yang longgar hingga ketat. Yang ketat menyatakan seluruh badannya termasuk wajah dan telapak tangannya bahkan ada yang menyatakan suara pun tidak boleh diperdengarkan. Penganut paham ini mewajibkan perempuan memakai cadar. Ada juga yang berpendapat bahwa aurat perempuan dewasa adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya. Ada lagi yang menyatakan wajah dan sebagian lengannya tidak termasuk aurat, demikian juga kakinya (bukan betisnya). Ada lagi yang lebih longgar dari semua yang dikemukakan di atas. Pada masa silam, ulama-ulama Nusantara memperkenankan isteri dan anak-anak perempuan tampil memakai kebaya, yang dapat menampakkan sebagian rambut kepala mereka serta leher mereka.

Bahwa Al-Qur’an dan Sunnah secara pasti melarang segal aktivitas – pasif atau aktif – yang dilakukan seseorang bila diduga dapat menimbulkan rangsangan birahi terhadap lawan jenisnya. Apa pun bentuk aktivitas itu, sampai-sampai suara gelang kaki yang dipakai pun dilarangnya, bila dapat menimbulkan rangsangan. Di sini tidak ada tawar-menawar. Aurat haram ditampakkan kecuali kepada mahram, antara lain karena Islam sangat mendambakan kebersihan lahir dan batin serta sangat membenci perzinaan atau hubungan yang tidak dijalin atas dasar izin Allah demi memelihara kejelasan dan kesucian keturunan. Dari sini bukan saja perzinaan yang dilarangnya, tetapi juga hal-hal yang diduga dapat mengantar kepada perzinaan. Salah satu di antara yang dapat diduga keras mengantar ke sana adalah penampakkan fisik yang mengundang rangsangan birahi. Dari sini Allah menetapkan keharusan menutup aurat dan dari sini pula lahir izin menampakkan bagian dari tubuh manusia, lelaki atau perempuan, jika ada kebutuhan mendesak yang dibenarkan agama dan penampakkannya diduga keras tidak akan mengundang birahi.

Rangsangan seks bagi lelaki bisa muncul kapan, di mana dan oleh siapa pun berbeda dengan perempuan. Rangsangan itu bagi lelaki lebih kuat daripada perempuan dan lebih cepat, cepat lahirnya dan cepat pula padamnya. Secara jenaka lelaki seperti microwave cepat panas dan cepat pula dinginnya. Kompor listrik lambat panasnya dan lambat juga dinginnya, begitulah perempuan. Sungguh Allah yang menetapkan ketentuan tentang aurat Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam pandangan Al-Qur’an, salah satu tujuan utama perkawinan adalah menciptakan sakinah, mawaddah, dan rahmat antara suami, isteri, dan anak-anaknya (QS Ar-Rum [30] : 21).

Menurut Shihab (2018), kata sakinah terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan. Berbagai bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut, kesemuanya bermuara pada makna di atas. Misalnya, rumah dinamai maskan karena ia tempat meraih ketenangan setelah penghuninya bergerak, bahkan boleh jadi mengalami guncangan di luar rumah. Memang pakar-pakar bahasa menegaskan bahwa kata itu tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah sebelumnya ada gejolak. Setiap jenis kelamin – lelaki atau perempuan, jantan atau betina – dilengkapi Allah dengan alat serta aneka sifat dan kecenderungan yang tidak dapat berfungsi secara sempurna jika ia berdiri sendiri. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing pasangan dengan pasangannya. Untuk maksud itu pula Allah menciptakan dalam diri setiap makhluk dorongan untuk menyatu dengan pasangannya. Ini bukan hanya manusia atau makhluk hidup, tetapi pada semua makhluk walau tidak bernyawa. Atom pun demikian. Bagi manusia, ia naluri di kala kanak-kanak, lalu menjadi salah satu dorongan kuat – kalau enggan berkata yang terkuat – setelah dewasa, yang bila tidak terpenuhi akan melahirkan gejolak dan kegelisahan. Cinta yang bergejolak di hati dan diliputi ketidakpastian akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketenteraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan.

Benar bahwa sewaktu-waktu manusia bisa merasa senang dalam kesendiriannya, tetapi tidak untuk selamanya. Manusia telah menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan. Karena alasan-alasan inilah manusia menikah, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Akan tetapi, harus diingat bahwa keberpasangan manusia tidak hanya didorong oleh desakan naluri seksual, tetapi lebih daripada itu. Ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan. Ketenangan itu didambakan oleh suami setiap saat, termasuk saat dia meninggalkan rumah dan anak isterinya, dan dibutuhkan pula oleh isteri, lebih-lebih saat suami meninggalkannya keluar rumah. Ketenangan serupa dibutuhkan juga oleh anak-anak, bukan saja saat mereka berada di tengah keluarga, melainkan juga sepanjang masa.

Bahwa sakinah harus didahului oleh gejolak menunjukkan bahwa ketenangan  yang dimaksud adalah ketenangan dinamis. Pasti dalam setiap rumah tangga ada saat ketika gejolak, bahkan kesalahpahaman, dapat terjadi. Namun, ia dapat segera tertanggulangi lalu melahirkan sakinah. Ia tertanggulangi bila agama, yakni tuntunan-tuntunannya, dipahami dan dihayati oleh anggota keluarga. Atau, bila agama berperan dengan baik dalam kehidupan keluarga.

Bahwa sakinah bukan sekedar apa yang terlihat pada ketenangan lahir yang tercermin pada kecerahan raut muka karena yang ini bisa muncul akibat keluguan, ketidaktahuan, atau kebodohan. Akan tetapi, saklnah terlihat pada kecerahan raut muka yang disertai kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat. Itulah makna sakinah secara umum dan makna-makna tersebut yang diharapkan dapat menghiasi setiap keluarga yang hendak menyandang nama keluarga sakinah.

Di samping sakinah, Al-Qur’an menyebut dua kata lain dalam konteks kehidupan rumah tangga, yaitu mawaddah dan rahmat. Shihab (2018), mengakui mengalami kesulitan sangat besar untuk menemukan padanan kata mawaddah – dalam bahasa Indonesia – karena kata cinta belum menggambarkan secara utuh makna kata tersebut. Karena kesulitan itu, hanya akan dilukiskan dampak mawaddah bila telah bersemi dalam jiwa seseorang. Ketika itu, yang bersangkutan tidak rela pasangannya atau mitra yang tertuang kepadanya mawaddah disentuh oleh sesuatu yang mengeruhkan pasangannya, kendati boleh jadi si penyandang mawaddah memiliki sifat dan kecenderungan kejam. Seorang penjahat yang bengis sekalipun, yang dipenuhi hatinya oleh mawaddah tidak akan rela pasangan hidupnya disentuh sesuatu yang buruk. Dia bahkan bersedia menampung keburukan itu atau mengorbankan diri demi kekasihnya. Ini karena makna asal kata mawaddah mengandung arti kelapangan dan kekosongan. Ia adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.

“Jika Anda menginginkan kebaikan dan mengutamakan untuk orang lain berarti Anda telah mencintainya. Tetapi, jika Anda menghendaki untuknya kebaikan serta tidak menghendaki untuknya selain itu – apa pun yang terjadi – mawaddah telah menghiasi hati Anda”. Mawaddah adalah jalan menuju terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi untuk siap yang tertuju kepadanya mawaddah itu. Karena itu, siapa yang memilikinya, dia tidak akan pernah memutuskan hubungan, apa pun yang terjadi. Jika demikian, kata ini mengandung makna cinta, tetapi ia adalah cinta plus. Makna kata ini mirip dengan makna kata rahmat. Hanya saja, rahmat tertuju pada yang dirahmati, sedangkan yang dirahmati itu dalam keadaaan butuh. Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa rahmat tertuju kepada yang lemah, sedangkan mawaddah tidak demikian. Mawaddah dapat tertuju juga pada yang kuat.

Agar cinta meningkat menjadi mawaddah, maka perlu mengindahkan unsur-unsur cinta, sebab jika tidak diindahkannya, dia tidak pernah dapat mencinta apalagi merasakan mawaddah. Ungkapan, “Tak kenal maka tak cinta”. Dengan demikian, semakin mengenal semakin dalam pula cinta. Dari sini, cinta harus bermula adanya perhatian. Maka, harus memberi perhatian kepada sesuatu jika memang mengaku mencintainya. Tanpa perhatian maka tiada cinta. Dengan memperhatikan dapat mengenalnya lebih banyak dan ini menimbulkan cinta lebih dalam. Unsur kedua dari cinta yang mampu melahirkan mawaddah adalah tanggung jawab. Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah mengetahui kebutuhan dan memberinya walau tanpa diminta. Tanggung jawab tidak jarang disalahpahami sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan. Karena itu, unsur ini harus didampingi unsur ketiga, yaitu penghormatan. Seorang pencinta harus menghormati yang dicintainya. Dalam konteks hubungan cinta antara suami-isteri, si pencinta harus sadar bahwa yang dicintainya sejajar dan setara dengannya. Sebagaimana ia membutuhkan penghormatan, yang dicintainya pun demikian. Jika unsur-unsur ini telah tergabung dalam diri seseorang terhadap pasangan cintanya, cinta akan tumbuh menjadi mawaddah dan ketika itu yang bercinta dan dicintai menyatu sehingga masing-masing tidak pernah akan menampung di dalam hatinya sesuatu yang dianggap buruk pada diri kekasihnya. Hal ini karena mawaddah – makna kebahasaan – adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.

Bahwa sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan yang pertama lagi utama, adalah menyiapkan kalbu. Sakinah/ketenangan demikian juga mawaddah dan rahmat bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar keluar dalam bentuk aktivitas. Memang, Al-Qur’an menegaskan bahwa perkawinan disyariatkan untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti bahwa setiap perkawinan  otomatis melahirkan sakinah, mawaddah, dan rahmat. Hampir pada setiap acara perkawinan keluarga muslim diperdengarkan firman Allah yang tercantumn dalam QS Ar-Rum [30] : 21 : “Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri supaya kamu tenang kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

Allah menciptakan lelaki dan perempuan dengan sifat dan kecenderungan-kecenderungan tertentu yang tidak dapat menghasilkan ketenangan dan kesempurnaan kecuali dengan memadukan kecenderungan-kecenderungan itu, lalu menjadikan antara mereka mawaddah dan rahmat, yakni menganugerahi mereka potensi yang harus mereka asah dan kembangkan sehingga dapat lahir dari perkawinan mereka mawaddah dan rahmat. Jika tidak, pastilah akan ditemukan perkawinan yang gagal. Bahwa cinta tidak dapat dibeli dengan harta. Ia hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur. Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw. mengingatkan : “Sesungguhnya kamu tidak dapat melapangkan (dada) semua manusia, yakni menjadikan semua orang senang kepada kamu dengan harta benda kamu, tetapi kamu dapat melapangkan dada mereka dengan budi pekerti kamu”.

 Kini, banyak sekali orang yang dinilai telah menjalin cinta antar-mereka sebelum perkawinan, tetapi ternyata, setelah perkawinan, cinta itu layu, bahkan terjadi perceraian dan permusuhan. Sebaliknya, dulu banyak perkawinan yang tidak didahului oleh cinta – bahkan oleh perkenalan pun – tetapi kehidupan rumah tangga mereka sedemikian kukuh dan ternyata antara mereka terjalin hubungan cinta yang demikian mesra melebihi kemesraan para muda-mudi dewasa ini yang “mencinta” sebelum perkawinan. Kenyataan di atas membuktikan bahwa ada keterlibatan Allah dalam langgengnya cinta yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang beriman dan beramal saleh, dengan kata lain, kepada mereka yang mengikuti tuntunan-tuntunan-Nya. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah Yang Maha Pemurah akan menjadikan bagi mereka wudda (cinta plus)” (QS Maryam [19] : 96). Dengan demikian, dia mampu memberi dan menerima mawaddah. Dia tidak akan bertepuk sebelah tangan.

Penggunaan kata anfusikum (dalam QS Ar-Rum [30] : 21 yang dikutip di atas) mengisyaratkan bahwa pasangan suami isteri hendaknya menyatu sehingga menjadi nafsin wahidah atau diri yang satu, yakni menyatu dalam pikiran dan perasaannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan napasnya. Itu sebabnya perkawinan dinamai zawaj, yang berarti keberpasangan, disamping dinamai juga nikah yang berarti penyatuan.

Penyatuan itu harus diperjuangkan. Dua orang yang lahir dari orangtua yang sama, hidup di tengah keluarga yang sama pula, tidak otomatis menyatu pikiran dan perasaan serta serupa kecenderungan dan keinginannya, apalagi dua orang yang berbeda jenis kelamin dan lahir serta besar dalam lingkungan yang berbeda. Agar nikah (penyatuan) dan zawaj (keberpasangan) itu langgeng lagi diwarnai oleh sakinah, agama menekankan sekian banyak hal, antara lain :

  1. Kesetaraan

Kesetaraan ini mencakup banyak aspek, seperti  kesetaraan dalam kemanusiaan. Tidak ada perbedaan dari segi asal kejadian antara lelaki dan perempuan. Sekian kali Kitab Suci Al-Qur’an menegaskan bahwa ba’dhukum min ba’dh (sebagian kamu dari sebagian yang lain). Ini satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan kesetaraan atau kebersamaan dan kemitraan sekaligus menunjukkan bahwa lelaki sendiri atau suami sendiri, belumlah sempurna – ia baru sebagian – demikian juga perempuan, sebelum menyatu dengan pasangannya baru juga sebagian. Mereka baru sempurna bila menyatu dan bekerja sama. QS Al-‘Imran [3] : 195 yang menggunakan istilah tersebut berpesan bahwa, baik lelaki dan perempuan lahir dari sebagian lelaki dan sebagian perempuan, yakni perpaduan antara sperma lelaki dan indung telur perempuan. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan dan derajat antar mereka.

Kalimat serupa dikemukakan dalam hubungan suami isteri, “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (mas kawin), padahal sebagian kamu telah (bercampur) dengan sebagian yang lain (sebagai suami isteri)” (QS An-Nisa’ [4] : 21). “Percampuran” yang direstui Allah terjadi berkat kerja sama dan kerelaan masing-masing untuk membuka rahasia yang terdalam, dan ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya kemitraan antara keduanya.

Ayat lain yang menggunakan istilah di atas adalah dalam konteks kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat : “Orang-orang mukmin (lelaki) dan orang-orang mukminah (perempuan) sebagian mereka menjadi auliya’ (penolong, pembantu, pendukung) bagi sebagian yang lain” (QS At-Taubah [9] : 71).

Dahulu, ulama-ulama menekankan kafaah dari segi keturunan dan agama. Namun, kini kafaah dan kesetaraan lebih ditekankan di samping pada pandangan hidup atau agama, juga pada budaya, tingkat pendidikan serta usia.

  1. Musyawarah

Perkawinan yang sukses bukan saja ditandai tidak adanya cekcok antara suami isteri karena bisa saja cekcok tidak terjadi bila salah satu pasangannya menerima semua yang dikehendaki pasangannya – menerima tanpa diskusi atau tanpa satu kata yang menampakkan keberatannya. Perkawinan semacam ini memang dapat memenuhi kebutuhan jasmani –termasuk biologis kedua pasangan – tetapi, pada hakikatnya, bukan perkawinan semacam ini yang dapat dinamai sukses dan mengantar kebahagiaan lahir dan batin. Perkawinan yang melahirkan mawaddah dan rahmat adalah perkawinan yang di dalamnya

Kedua pasangan mampu berdiskusi menyangkut segala persoalan yang mereka hadapi, sekaligus keluwesan untuk menerima pendapat mitranya. Penerimaan yang tulus dan tidak menilainya sebagai mengurangi kehormatan siapa yang menerima itu. Perkawinan meraih sukses bila kedua pasangan memiliki kesadaran bahwa hidup bersama adalah take and give, kaki harus silih berganti ke depan, dan bahwa hidup berumah tangga – walaupun disertai dengan aneka masalah dan kesulitan – jauh lebih baik daripada hidup sendiri-sendiri. Aneka keinginan atau problema yang dihadapi, harus diselesaikan dengan musyawarah atas dasar kesetaraan kedua belah pihak. Musyawarah tidak dapat dllaksanakan dalam situasi ketika seseorang merasa lebih unggul daripada yang lain. Musyawarah tidak diperlukan oleh mereka yang telah sepakat karena apalagi yang perlu dimusyawarahkan bila semua telah disepakati.

Dengan demikian, perintah agama agar dalam kehidupan rumah tangga suami isteri bermusyawarah (Uraian tentang musyawarah hanya ditemukan empat kali dalam Al-Qur’an, pertama berupa perintah kepada Nabi Muhammad Saw. agar bermusyawarah menyangkut persoalan-persoalan kemasyarakatan (QS Ali ‘Imran [3] : 159), kedua berupa pujian kepada orang-orang mukmin yang selalu melakukan musyawarah (QS Asy-Syura [42] : 38), dan ketiga dan keempat menyangkut kehidupan rumah tangga suami isteri (QS Al-Baqarah [2] : 233 dan Ath – Thalaq [65] : 6) ), menunjukkan bahwa agama mengakui adanya perbedaan tetapi dalam kesetaraan. Memang, kesetaraan tidak berarti persamaan dalam segala segi. Ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Perbedaan itu, bukan saja pada alat reproduksinya, tetapi juga struktur fisik dan cara berpikirnya (mindset). Perbedaan ini tidak menjadikan salah satu jenis kelamin lebih unggul atau istimewa daripada yang lain, tetapi justru dengan menggabungkan keduanya terjadi ksempurnaan kedua belah pihak. Dengan pernikahan atau keberpasangan itu lahir kerja sama, dan dengan kerja sama hidup dapat berkesinambungan lagi harmonis. Harus disadari bahwa kekuatan atau kelemah-lembutan di sini sama sekali tidak menunjukkan superioritas satu pihak atas pihak lain, tetapi masing-masing memiliki keistimewaan dan masing-masing membutuhkan yang lain guna tercapainya tujuan bersama.

Saat bermusyawarah atau melakukan komunikasi timbal balik ini, diperlukan kearifan memilih waktu-waktu yang sesuai, demikian juga kalimat-kalimat yang tepat. Dalam konteks ini, agama berpesan “Pada setiap situasi, ada pembicaraan yang sesuai dan setiap pembicaraan yang sesuai ada pula waktunya yang sesuai”. Pada saat bermusyawarah atau berkomunikasi, banyak sekali tuntunan dan tata cara yang diajarkan agama, mulai dari sikap batin dan kesediaan maaf, kelemah-lembutan dan kehalusan kata-kata, sampai pada ketekunan mendengar mitra musyawarah atau diskusi  (QS Ali ‘Imran [3] : 159). Masing-masing juga harus mampu mengetahui kebutuhan dan pandangannya serta memiliki ketrampilan mengungkapkannya, di samping mampu pula mendengar secara aktif pandangan mitranya, sehingga tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Dalam hal musyawarah tidak mempertemukan pandangan, salah satu harus mampu menyatakan pendapat “boleh jadi engkau yang benar”. Kalimat ini tidak kurang mesranya dari kalimat “Aku cinta atau aku bangga padamu”. Kalimat itulah yang otomatis lagi penuh kesadaran akan tercetus selama mawaddah dan rahmat menghiasi jiwa mereka.

  1. Kesadaran akan Kebutuhan Pasangan

Kitab Suci Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa suami isteri adalah pakaian untuk pasangannya, “ Mereka (isteri-isteri kamu) adalah pakaian bagi kamu (wahai para suami) dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqarah [2] : 187). Bahwa banyak hal yang harus disadari oleh suami dan isteri guna terciptanya keluarga sakinah. Jika dalam kehidupan normal sehari-hari seseorang tidak dapat hidup tanpa pakaian, demikian juga keberpasangan tidak dapat dihindari dalam kehidupan normal manusia dewasa. Kalau pakaian berfungsi menutup aurat dan kekurangan jasmani manusia, demikian pula pasangan suami isteri harus saling melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, suami adalah hiasan bagi isterinya, demikian pula sebaliknya (QS Al-A’raf [7] : 26). Kalau pakaian mempu melindungi manusia dari cuaca panas dan dingin (QS An-Nahl [16] : 81), suami terhadap isterinya dan isteri terhadap suami harus pula mampu melindungi pasangan-pasangannya dari krisis dan kesulitan yang mereka hadapi. Walhasil, suami dan isteri saling membutuhkan. Begitu kebutuhan tersebut tidak dirasakan lagi, ketika itu cinta memudar dan perkawinan goyah.

Sebagian pakar menyatakan bahwa seorang suami sangat butuh untuk merasa bahwa ia dinilai penting oleh isterinya, dihargai pekerjaannya, serta bangga dengannya. Ia juga memerlukan dorongan-dorongannya. Sedangkan isteri butuh untuk merasakan bahwa suaminya selalu berada di sampingnya – dengan segala potensi dan kemampuannya lagi mampu membelanya serta menyiapkan baginya kehidupan yang tenang dan damai. Isteri juga ingin merasakan bahwa suaminya cemburu terhadapnya, dan merasakan bahwa ia disunting bukan karena suaminya butuh kepadanya, tetapi karena ia dicintainya. Perkawinan adalah gabungan antara kekuatan dan kelemahan. Pada saat Anda memberi, Anda kuat, dan pada saat Anda menerima, Anda lemah.

Ada juga pakar yang menyampaikan bahwa isteri mendambakan perhatian, sedangkan suami mengharapkan kepercayaan; isteri menuntut pengertian, sedangkan suami menuntut penerimaan; isteri merindukan penghormatan, sedangkan suami mengharapkan penghargaan; isteri meminta penegasan, sedangkan suami persetujuan; isteri membutuhkan cinta dan jaminan, sedangkan suami membutuhkan kekaguman dan dorongan. Akhirnya, suami maupun isteri tidak dapat hidup tanpa kesetiaan.

Tanpa menyadari kebutuhan-kebutuhan tersebut, dan tanpa memfungsikan perkawinan seperti makna-makna di atas, kehidupan rumah tangga tidak akan menggapai sakinah, dan ini juga berarti bahwa agama belum berfungsi dengan baik dalam kehidupan rumah tangga. Ada ungkapan “ (Upacara) perkawinan itu hanyalah awal dari suatu akhir. Perkawinan itu untuk sukses perlu dua orang, tapi untuk gagal cukup seorang !”.

Dalam kisah roman, diharapkan perjuangan sepasangan kekasih itu mencapai perkawinan dan mendapatkan happily ever after. Menurut Shihab (2018), bahwa ada indikator-indikator untuk mengukur kebahagian perkawinan antara lain:

  1. Bila keikhlasan dan kesetiaan merupakan inti yang merekatkan hubungan Anda berdua.
  2. Bila satu-satunya tujuan tertinggi Anda adalah hidup langgeng bersamanya di bawah naungan ridha Ilahi.
  3. Bila ingin keikutsertaannya bersama Anda dalam segala kesenangan dan ingin pula memikul segala kepedihan yang dideritanya.
  4. Bila Anda ingin memberinya serta menerima darinya segala perhatian dan pemeliharaan.
  5. Bila dari hari ke hari kenangan-kenangan indah dalam hidup Anda, jauh lebih banyak dan besar daripada kenangan buruk.
  6. Bila pada saat Anda tidur sepembaringan dengannya, Anda merasakan ketenangan sebelum kegembiraan, damai sebelum kesenangan, dan kebahagiaan sebelum kelezatan.
  7. Bila isi hati Anda yang terdalam berucap : “Aku ingin hidup dengan manusia ini sampai akhir hidupku, bahkan setelah kematianku”. Ini karena Anda merasa bahwa Anda tidak mampu, bahkan tidak ingin mengenal manusia lain sebagai teman hidup kecuali dia semata, tanpa diganti dengan apa dan siapa pun. Demikianlah.

Memang, kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada maknanya, health is not everything but without it everything is nothing (Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860). Menurut Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2009, Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Hingga saat ini belum ada definisi konkrit kesehatan perkawinan (marital health). Dengan merujuk definisi kesehatan tersebut di atas, maka kesehatan perkawinan adalah apabila mereka “penghuni mahligai perkawinan” dalam keadaan sehat fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Kesehatan berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biarpun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka. Nikmat kesehatan, sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung kesalahan kita. Tetapi  tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan (Madjid, 2015).

 Last but not least, “Dengan ilmu hidup menjadi mudah. Dengan agama hidup menjadi terarah. Denga seni hidup menjadi indah” (HA Mukti Ali, 1923 – 2004, mantan Menteri Agama RI). Tulisan ini kami tutup dengan sebuah lagu

I love you forever today – Cliff Richard

 ‘Love is being friends,’ she says

‘Going on and on’ she says

‘True love never ends,’ she says

‘I don’t believe a word’

She says, ‘I don’t believe a word’

‘Love is now for me,’ I say

True love needn’t come to stay

It can come and slip away

Believe me when I say

That love is strictly for today

Love is many things to many people

I just now what it means to me

Love is ‘tie me down’ to many people

For me, if it’s right, then it’s got to be free

I can’t look ahead to say

Tomorrow I’ll still feel  this way

Who knows what games we both might play?

But this I’m gonna say ‘I’ll love you forever Today’

On and on today, Never ending today

I’ll love you forever today

‘Cinta adalah berteman,’ katanya

‘Terus dan terus’ katanya

‘Cinta sejati tidak pernah berakhir,’ katanya

‘Saya tidak percaya sepatah kata pun’

Dia berkata,’Saya tidak percaya sepatah kata pun’

‘Cinta sekarang untukku,’ kataku

Cinta sejati tidak perlu datang untuk tinggal

Itu bisa datang dan menyelinap pergi

Percayalah ketika saya mengatakan

Cinta itu hanya untuk hari ini

Cinta adalah banyak hal bagi banyak orang

Aku hanya tahu apa artinya bagiku

Cinta itu ‘mengikatku’ kepada banyak orang

Bagi saya, jika itu benar, maka itu (cinta) harus bebas

Saya tidak bisa melihat ke depan untuk mengatakan

Besok aku masih akan merasa seperti ini

Siapa yang tahu permainan apa yang mungkin kita berdua mainkan?

Tapi ini aku akan mengatakan ‘Aku akan mencintaimu selamanya Hari ini’

Terus dan terus hari ini. Tidak pernah berakhir hari ini

Aku akan mencintaimu selamanya hari ini

Oleh :

*Mardliyah, Dokter, MPKU Jawa Tengah

*Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

*Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak dan Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul serta Dosen FK-UAD

Artikel ini merupakan kiriman pembaca wartamu.id. (Terimakasih – Redaksi)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *