Konstitusi, Konstitusionalisme dan Demokrasi Konstitusional

Foto Penulis Muh Taufiq Firdaus

WARTAMU.ID, Humaniora – Tajuk “KawalPutusanMK” sejak kemarin berserakan diberbagai kanal media sosial, bahkan sempat bertengger lama di media X sebagai trending topik. Asbabun nuzul tajuk tersebut dipicu setelah DPR RI yang “membegal” Putusan Mahkamah Konstitusi melalu revisi Undang-Undang Pilkada yang dikebut dalam sehari. Esoknya, aksi “Mengawal Konstitusi” pun pecah di beberapa daerah bahkan bertahan hingga malam hari. Mahasiswa, tokoh bangsa, akademisi, dan pesohor publik pun ikut bersuara mengawal putusan MK yang menandai arus balik demokrasi. Putusan MK baik nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024, berpotensi mengacak-acak konsolidasi elit politik nasional dan berimbas pada konstelasi di daerah. Putusan a quo sejatinya ingin menarik kembali demokrasi setelah sederet peristiwa politik mencoba meminggirkan demokrasi ke tepi jurang otoritarianisme. MK sebagai the guardian of constitution memiliki kewenangan untuk memastikan berjalannya demokrasi sesaui khittah konstitusi. Upaya untuk membajak konstitusi sudah dimulai sejak tahun 2023, diskursus mengenai konstitusi bergulir di lingkaran inti kekuasaan (inner circle), mulai dari wacana penundaan pemilu, amandemen UUD 1945, bahkan isu perpanjangan jabatan 3 periode Presiden sempat mengundang beragam reaksi publik.

Konstitusi dan Konstitusionalisme

Konstitusi yang menjadi hukum tertinggi di negara (the supreme law of the land), menjadi base on hukum dan moral bagi penyelenggara negara agar cita dan tujuan negara tercapai. Konstitusi lahir dari konsensus sosial yang mempunyai visi dan misi bersama untuk hidup bernegara dan berbangsa. Konstitusi juga bagian dari upaya untuk mematerialisasikan cita, harapan, rekam ingatan dan peristiwa bersama ke dalam suatu teks yang terlembagakan. I Dewa Gede Palguna menyebut kewenangan yang dimiliki MK merupakan sarana untuk menjadikan konstitusi sebagai dokumen hidup (a living document) yang menentukan bentuk dan arah kekuasaan sesuai dengan prinsip dasar konstitusi.

Menurut Jimly Asshidiqie, konstitusi merupakan suatu konsensus atau kesepakatan bersama dalam menyusun bentuk ideal dari suatu negara, yang setidaknya memiliki tiga pilar kesepakatan. Pertama, kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general accaptance of same philosophy of government). Kedua, kesepakatan tentang rule of law sebagai landasan pemerintaham atau penyelenggaraan negara (the basis of goverment). Ketiga, kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institusionis and procedures). Selain itu, J. Barent menyebutkan konstitusi sebagai hukum tertinggi mempunyai tiga tujuan utama yaitu, untuk memelihara ketertiban dan ketentraman, mempertahankan kekuasaan dan mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan umum. Sementara Maurice Hauriou menjelaskan tujuan konstitusi untuk menjaga keseimbangan antara, ketertiban (orde), kekuasaan (gezag), dan kebebasan (vrijheid).

Perkembangan negara modern meniscayakan pemerintahan ideal dengan pemerintahan demokratis yang berdasarkan pada suatu konstitusi. Miriam Budihardjo, memberikan definisi jelas mengenai demokrasi konstitusional sebagai suatu gagasan bahwa sistem pemerintahan musti memiliki limitasi kekuasaan dan tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan suatu negara yang beroritentasi terhadap perlindungan HAM. Batasan tersebut menjadi suatu hal yang mutlak yang tercantum dalam konstitusi. Dari sisi konteks paham bernegara, konstitusi tidak hanya dimaknai sebagai teks tertulis, tetapi konstitusi dipandang sebagai perwujudan gagasan konstituisionalisme, yaitu paham kekuasaan yang harus dibatasi agar tujuan negara dapat terwujud. Dari sudut pandang ini, tanpa adanya pembatasan kekuasaan, suatu konstitusi dapat kehilangan ruh konstitusionalisme dan hanya akan menjadi legitimasi bagi kekuasaan negara tanpa batas.

Demokrasi Konstitusional

Pemilu sebagai indikator negara demokratis juga telah dicetuskan dalam Konfrensi International Commission of Jurist di Bangkok pada tahun 1965, menghasilkan beberapa rumusan penting yang disebut sebagai the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age sebagai syarat terselenggaranya pemerintahan demokratis, diantaranya: perlindungan konstitusional, peradilan independent, pemilihan umum, kebebasan menyatakan pendapat kebebasan berserikat, dan pendidikan kewarganegaraan. Penghormatan atas pilar inilah yang disebut sebagai “Demokrasi Konstitusional” (Constitutional Democration). Demokrasi konstitusional menurut Schumpter sebagai corak demokrasi yang bercirikan sebuah kompetisi politik secara bebas yang dilakukan berlandaskan aturan-aturan konstitusional.  Lebih jauh, demokrasi konstitusional merupakan demokrasi yang berdasarkan atas hukum.

Dalam demokrasi konstitusional, hukum menempati posisi yang vital. Demokrasi yang ideal haruslah diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa hukum, demokrasi justru berkubang ke arah yang keliru, karena hukum juga dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa atasnama demokrasi. Negara konstitusi (Constitusional State) berarti aturan hukum harus dipegang penuh oleh setiap penguasa dalam mengeluarkan setiap kebijakan negara dan tidak berupaya untuk memuluskan agenda politiknya semata dengan sengaja melanggar aturan konstitusi. Kalau demokrasi konstitusional terwujud maka perhelatan demokrasi yang berbentuk pemilu juga akan terjamin dilakukan secara konstitusional pula.

Pemilu merupakan kontestasi elektoral yang menjadi ajang rutinitas dalam lima tahun sekali untuk memilih eksekutif maupun legislatif. pemilu merupakan salah satu sarana untuk melegitimasi kekuasaan. Pemilu sebagai sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat dasar. Maka salah satu pelanggaran hak-hak asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, memperlambat penyelenggaraan pemilu atau tidak melakukan pemilu sesuai prosedur yang telah disepakati sebagaimana mestinya. Pemilu yang bebas adalah terselenggaranya pemilu tanpa adanya paksaan dan penekanan kepada rakyat yang melakukan hak pilihnya.

Trend Kemunduran Demokrasi

Tren global negara demokrasi mengalami suatu anomali. Dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan banyak negara demokrasi yang mengalami kemunduran (erosi demokratis). Erosi ini terjadi di seluruh dunia dan kawasan Asia Pasifik adalalah wilayah yang paling mengalamai kemerosotan tajam. Sebagaiamana laporan yang diungkapkan oleh Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), di India mengalami kemunduruan demokrasi dan memiliki jumlah tertinggi pernurunan sejak tahun 2013. Di negara Asia Tenggara seperti Filipina, sejak tahun 2016 juga mengalami trend kemunduran demokrasi yang dipicu oleh bangkitnya sistem politik otoriter. Negara-negara yang memiliki usia demokrasi relatif lama dibanding Indonesia, seperti Australia dan Selandia Baru, juga mengalami trend yang sama dengan merasakan memburuknya ruang sipil, yang ditandai dengan sentralisasi kekuasaan di Eksekutif. Termasuk dalam laporan ini, Indonesia merupakan negara yang mengalami kemunduran yang cukup signifikan.

Laporan yang sama dari Economies Intelligence Unit (EIU) tahun 2023 menyebut Indonesia sebagai demokrasi yang cacat (Flawed Democracy) dengan skor Indeks Demokrasi yang tertahan di angka 6.71, nilai rata-rata sebagai negara yang dianggap flawed democracy. Beberapa indikator penilaian yang dilakukan oleh EIU diantaranya proses pemilu dan pluralisme (nilai 7.92), fungsi pemerintahan (nilai 7.14), partisipasi politik (nilai 6.11), budaya politik-hukum (nilai 5.63), dan kebebasan sipil (nilai 5.59). Bahkan nilai kebebasan sipil Indonesia disbanding negara Asia Tenggara lainnya merupakan salah satu terburuk, lebih rendah daripada Filipina (7.06), Malaysia (5.88), Thailand (6.47) dan Singapura (7.06).

Freedom House menyebut banyak pemimpin dunia yang dipilih secara bebas, mandiri, dan demokratis justru mempersempit kebebasan dengan dalih interpretasi kepentingan bangsa. Pemimpin mengabaikan kritik dan hak-hak warga, sementara disaat yang sama mereka menyusun setting agenda politik mereka, melalui jalur pemilu yang telah terkonsolidasi. Diamond menyebut situasi ini sebagai democratic regression. Situasi pemerintahan yang terpilih dalam Pemilu demokratis malah mempraktikkan pelemahan demokrasi dengan menekan oposisi politik, media yang independen, serta masyarakat sipil. Dalam berbagai laporan, proses pemilu menjadi salah satu biang dari kemunduruan demokrasi karena menyalahi berbagai prosedural dan berusaha untuk memanipulasi hukum agar sesuai kepentingan politik penguasa, praktik-praktik ini kerap ditemukan dalam sistem politik hukum yang otoriter. Maka aksi “KawalPutusanMK” yang terjadi, sebenarnya merupakan tumpukan kemarahan publik sekaligus cara untuk mengingatkan penguasa sebagai penyelenggara negara untuk tidak membajak konstitusi demi kepentingan kekuasaan.