WARTAMU.ID – Dunia politik memang sangat praktis dan pragmatis. Dalam berpolitik segala kemungkinan bisa terjadi, sebab disanalah tempat untuk menentukan arah kehidupan ke depan secara aturan yang dilegitimasi. Menghimpun berbagai kepentingan-kepentingan dalam skup kebangsaan berdasarkan pada perkumpulan yang dalam hal ini masyarakat atau rakyat. Politik merupakan bagian terpenting dalam urusan mengatur pemerintahan dan negara.
Indonesia sebagai negara yang majemuk dengan simbol bhineka tunggal ika menjadi perhatian penting. Secara statistik jumlah penduduk berdasarkan agama memang benar Islam merupakan mayoritas. Secara prinsip Indonesia merupakan negara yang plural. Sehingga konsep pluralitas sangat terjaga untuk merawat Pancasila sebagai ideologi negara. Suku, Agama, Ras, dan Adat maupun Bahasa yang berbeda dan sangat banyak dapat dipersatukan dengan empat pilar kebangsaan.
Negara mengatur dengan undang-undang dari level atas hingga sampai terbawah. Sedangkan Agama dan Adat pun memiliki aturan sebagai bentuk norma terhadap pengikut dan jamaahnya. Maka sudah sepantasnya sesuai dengan norma dan sesuai dengan aturan negara sebagai negara hukum.
Memahami politik dalam Islam di Indonesia memang sangat unik dan sedikit berbeda dari konsep maupun teori Barat. Sebab, Indonesia sebagai negara Demokrasi terus dalam tahapan progresivitasnya atau terus berproses dalam tahap kematangan atau kesempurnaan yang ditempuh dengan waktu yang panjang serta prosesnya yang panjang. Tentunya Islam mengajarkan berpolitik yang sesuai dengan agama demi tercapainya keadilan, kesejahteraan dan kedamaian.
Namun, realitas masyarakat Indonesia saat ini dalam aspek politik tidak sampai pada tahapan esensial atau substantif. Melainkan terjebak atau masih dalam ranah prosedur yang efektivitasnya selalu terjadi dua kemungkinan antara salah dan benar atau pantas dan tidak pantas. Padahal, tahapan prosedur itu sifatnya dapat berubah sesuai dengan dinamikanya. Ketika melihat aktor, agenda, institusi dan instrumen nya tidak sesuai prosedur maka munculah kesimpulan bahwa politik itu busuk, curang, haram, kotor, dan sebagianya. Tidak mampu membedakan isi, wilayah, kewenangan, batasan dan prinsip sehingga semua ditabrak atau secara bebas maupun liar menyatakan salah benar tanpa aturan hukum maupun politik.
Belum lagi melihat aktor yang berperan sebagai subjeknya yang berkaitan dengan proses politik. Adanya penilaian generalisasi yang terkadang tidak integratif dan interkonektif dalam menyimpulkan. Karena harus mampu membedakan mana aktor politik sebagai pemimpin yang melanggar aturan undang-undang dan norma agama adalah harus melalui proses hukum yang ada demi tegaknya serta tercapainya kepastian hukum berkeadilan tanpa tebang pilih. Sehingga bisa juga membedakan mana aktor politik yang menjadi pemimpin yang baik serta tidak melanggar undang-undang dan norma agama yang dalam hal ini pula kita menyelaraskan arti makna kemajemukan negara Indonesia yang di dalamnya terdapat unsur suku, agama, ras, adat dan bahasa.
Sehingga arti dan makna konsistensi politik dalam Islam justru sangat logis dan bukan kontradiksi dengan argumentasi tanpa dasar. Dalam hal ini, maknanya ialah menegaskan bahwa politik dalam Islam tidak hanya sebatas melihat unsur eksplisit akan tetapi secara implisit juga. Selama undang-undang mengatur kebebasan dalam hal menjadi pemimpin yang tidak dikhususkan dengan satu golongan atau satu agama tertentu, maka sah dan secara legitimasi proses politik dapat dilalui tahapannya. Adapun aktor tersebut bila melanggar maka harus melalui porses hukum, jika tidak maka sah dalam proses politik. Agama apapun itu, jika aktor politik dalam hal ini menjadi pemimpin di suatu wilayah atau daerah bila melanggar undang-undang dan kemudian melanggar norma agama maka wajib dihukum. Selanjutnya ada otoritarisasi pada level instiusi di masyarakat untuk menyatakan bahwa aktor politik yang melanggar tersebut yang dalam hal menjadi pemimpin menjadi bukan pilihan karena tindakan kesalahannya.
Warna warni politik di Indonesia membuat masyarakat jenuh. Hal ini bukan karena proses politiknya, namun sajian politik yang menuai multi interpretasi dari berbagai pihak sebagai komoditas politik mencari keuntungan membuat semua disintegrasi dan distorsi. Pemahaman politik yang sangat praktis tadi kehilangan esensialnya dikarenakan politik yang disajikan selalu dengan bentuk politik counter atau politik oportunity. Justru kesalahan bukan pada sistem demokrasi akan tetapi pemahaman dalam berdemokrasi tidak jernih, melainkan sebagai alat propoganda yang jauh dari prinsip-prinsip bedemokrasi. Dan bukan pula sistem politiknya yang salah, melainkan adanya human error baik dari pelaku, penyelenggara, penegak, pendukung, pemilih, pengatur, perencana dan seterusnya itulah yang bisa masuk dalam kesalahan fatal manusia dalam proses berpolitik. Analogi sederhananya adalah melihat suatu bangunan yang sudah hampir jadi sebagai bangunan yang sempurna, lalu kemudian tinggal tahapan memberi warna atau cat pada temboknya tapi justru malah sibuk memperdebatkan bangunannya yang sudah hampir selesai dan sibuk memperdebatkan warna cat apa yang dipakai. Seharusnya bangunan tinggak tahap akhir dan warna bangunan di cat sesuai keinginan bersama yang mungkin bisa diatur seleranya dengan jarak waktu, hari atau keadaanya yang sesuai kesepakatan bersana tentunya. Tanpa harus memperdebatkan yang tak kunjung usai dan tidak solutif.
Maka mengahargai proses politik itu sangat penting dan tegas terhadap tindakan penyelewengan maupun tindakan otoritarian terhadap kebak hukum harus benar-benar ditegakkan seadil-adilnya. Karena dalam politik itu akan berkaitan dengan berbagai aspek seperti Sosial, Agama, Hukum, Budaya dan Ekonomi. Sehingga secara valid bisa memetakan akar masalah dengan sistematis dan terukur seusai dengan tahapan serta langkahnya. Semangat untuk mengawasi proses politik adalah bagian dari interkonektivitas yang harus terhubung dan terjaga dalam satu rangkaian sampai pada proses politik selanjutnya karena masuknya masa perlahan pada proses-proses selanjutnya. Tidak hanya itu juga, sistem menekan dan mengkritisi secara progresif dan konstruktif serta solutif juga bagian politik untuk menghindari kekuasaan superior tanpa batas aturan.
Sehingga maqosid yang ingin dicapai politik dalam Islam dapat tercapai dengan nilai kemaslahatan, kebermanfaatan dan keadilan. Islam tetap menjaga marwah dan izzah agamanya, ummatnya, dan nilai-nilai kehidupannya. Baik dari perlindungan jiwa, harta, agama, hak, kewajiban dan seterusnya. Tidak lagi berpikir bahwa politik selamanya adalah kehancuran, akan tetapi menjadi dimensi hidup yang terus bergerak maju secara dinamis dan humanis.
Oleh : As’ad Bukhari, S.Sos, MA.
(Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik)
Artikel ini merupakan kiriman pembaca wartamu.id. (Terimakasih – Redaksi)