RAGAM  

Restorative Justice Dan Penegakan Hukum Modern

Restorative Justice Dan Penegakan Hukum Modern (Meilita Hasan)

WARTAMU.ID, Suara Pembaca – Akhir-akhir ini kita disuguhi banyak berita terkait dengan penegakan hukum berbasis keadilan restoratif atau restorative justice. Penegakan hukum tersebut seperti penghentian perkara pada Ibu Rumah Tangga yang mencuri telepon seluler demi membayar kontrakan di Makassar, penghentian kasus penggelapan dan pencurian kelapa sawit di Asahan, dan penghentian kasus terhadap nenek berusia 96 tahun yang menjadi tersangka perusakan tanaman di Samosir. Kasus-kasus tersebut dalam faktanya berhasil diselesaikan dengan restorative justice (detik.com). Fenomena banyaknya kasus yang berhasil diselesaikan menggunakan pendekatan restorative justice tentu merupakan angin segar bagi penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan dan kemanfaatan (Rahardjo, 2006: 154). Hal ini tentu seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham bahwa hukum mempunyai tujuan untuk menciptakan kemanfaatan terhadap masyarakat. Tujuan hukum seperti ini merupakan tujuan hukum dalam pandangan utility (Marzuki, 2008: 100-117).

Restorative Justice

Pertanyaannya adalah apakah penegakan hukum dengan restorative justice akan membawa hukum pada perwujudan keadilan dan kemanfaatan? Restorative justice sesungguhnya merupakan suatu pendekatan baru dalam sistem peradilan pidana. Restorative justice adalah pendekatan pemulihan korban dan pemulihan pelaku tindak pidana dalam tataran sosial. Metode pemulihan yang dilakukan dengan menggunakan adanya kesepakatan atau perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana. Disini akan terjadi titik temu pemenuhan hak-hak korban dan juga kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku tindak pidana terhadap korban. Pendekatan seperti ini tentu lebih memusatkan keterlibatan antara korban dan pelaku tindak pidana (Juhari, 2017). Bandingan dengan pendekatan pemidanaan yang terlalu kaku karena adanya ius puniendi dan tidak adanya ruang yang lentur bagi para pihak untuk bermediasi. Terlebih pendekatan pemidanaan cenderung mengutamakan pidana sebagai solusi dan berakibat pada adanya nestapa. Menariknya nestapa dalam pemidanaan tidak hanya terjadi pada pelaku tindak pidana. Melainkan juga dapat terjadi pada korban tindak pidana seperti kehilangan hak, mati, atau sakit, dan lain-lain. Disinilah terlihat bahwa restorative justice lebih mengarah pada penegakan hukum yang mampu mewujudkan keadilan dan kemanfaatan pada masyarakat. Tanpa adanya aturan yang rigid dan menggunakan pendekatan legal formal semata.

Penegakan Hukum Modern

Penegakan hukum yang tidak rigid dan tidak formalistik sesungguhnya merupakan penegakan hukum yang modern. Karena menurut hemat penulis, penagakan hukum yang modern tidak hanya penegakan hukum yang bersif dan menggunakan faktor hukum semata. Penegakan hukum modern juga harus lentur (tidak formalistik) dan dinamis sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Restorative justice telah mampu mewujudkan hal tersebut karena tidak terjebak pada aspek formal semata, melainkan mengupayakan adanya pemulihan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Hak dan kewajiban antara korban dan pelaku dipehatikan betul dalam restorative justice. Hal tersebut tentu agar tidak ada pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan secara sepihak. Melainkan adanya adalah diuntungkan bersama-sama. Konsep win-win solution nampaknya selaras dalam tubuh restorative justice.

Kedepan penegakan hukum di Indonesia selain harus bersih dan memenuhi prinsip-prinsip sistem peradilan, juga harus mengutamakan aspek keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak yang berperkara (win-win solution). Hal ini tentu untuk menjawab kegagalan dari sistem pemidanaan yang bersifat legal formal dan berorientasi pada pemidanaan secara absolut maupun retributif. Restorative justice hadir untuk mendobrak pendekatan pemidanaan. Di Indonesia, restorative justice sudah banyak digunakan oleh berbagai penegakan hukum. Tujuannya tentu saja selain untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak, juga untuk mewujudkan kepastian hukum.

Kelamahan Restorative Justice

Restorative justice bukan tanpa kekurangan. Tentu setiap hal dapat mempunyai kelebihan dan kekurangan. Begitu juga dengan restorative justice yang tentu mempunyai kekurangan atau kelemahan. Ada setidaknya satu kekurangan mendasar yang ada dalam restorative justice yang diterapkan di Indonesia. Kekurangan tersebut yaitu terkait dengan adanya kepastian hukum. Pengaturan terkait dengan restorative justice sampai dengan saat ini belum diatur dalam jenis Undang-Undang.

Jika melihat ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa

  • Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
    7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
  • Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Restorative justice sampai dengan saat ini belum diatur secara eksplisit dalam jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 tersebut. Artinya, kedudukan restorative justice tentu sangat lemah dari segi jenis peraturan perundang-undangan. Sementara, Indonesia berdasarkan konstitusi adalah negara hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya tindakan yang dilakukan oleh negara seperti restorative justice harus berdasarkan hukum. Namun sampai dengan saat ini, hukum yang menjadi dasar restorative justice belum kuat secara jenis dan hierarki. Kondisi tersebut tentu merupakan suatu kelamahan bagi restorative justice. Karena restorative justice berdiri pada alas yang kurang kuat. Ini rawan untuk kemudian restorative justice dihilangkan atau tidak dipakai dengan alasan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.

Kondisi seperti ini yang sesungguhnya perlu dikaji secara mendalam dan diberikan solusi. Kedepan tentu diperlukan alas hukum yang kuat bagi pengaturan restorative justice. Hal tersebut agar penegakan hukum berdasarkan restorative justice mempunyai dasar hukum yang kuat, sehingga restorative justice dapat ditegakan secara masal dan menyeluruh demi tercapainya tujuan hukum seperti yang diungkapkan sebelumnya.

Oleh : Meilita Hasan

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lampung

Artikel ini merupakan kiriman pembaca wartamu.id. (Terimakasih – Redaksi)