WARTAMU.ID, Suara Pembaca – Menjadi suatu keanehan dan kelucuan yang sedang diperankan oleh kekuasaan hari ini, di tengah kegusaran dan kegaduhan kelangkaan minyak goreng (harga mahal dan langka), pemindahan Ibu Kota, kenaikan harga BBM dan juga kebijakan serta kejadian lainnya. Belumlah semua itu usai, datang lagi huru hara karena sebuah kebijakan yang jika di perdengarkan tidak elok ditelinga. Jika dilihat, menjadi tidak indah kehidupan berbangsa ini. Karena surat edaran mentri agama no 05 tahun 2022, tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musolah. Lagi-lagi sub sistem dari pendukung keutamaan ibadah umat Islam yang beri kebijakan diluar batas kewajaran dalam berfikir dan beragama.
Jikalah, kebijakan ini ditelaah lebih luas, mendalam dan terbuka maka kegaduhan dan salahnya dalam berucap serta bersikap tidak akan terjadi diperlihatkan oleh pemimpin bangsa ini. Bisa dilihat dan ditafsirkan bahwa sebenarnya kebijakan ini, sangat tidak baik dan berbahaya bukan saja untuk umat Islam melainkan untuk umat manusia secara keseluruhan. Sebab kebijakan ini telah merusak nilai toleransi, nilai kemajemukan, nilai keadilan dan nilai keagamaan itu sendiri. Mengapa bisa begitu, karena sudah jelas memperlihatkan bahwa tidak menyukai perbedaan dan mencoba untuk mengganggu proses ibadah suatu agama dalam hal ini adalah Islam.
Padahal pengeras suara di masjid dan musolah masuk dan ada di Indonesia sejak tahun 1960an. Bahkan dalam sejarah lain penggunaan toa telah ada sejak tahun 1930 digunakan banyak masjid dan salah satunya di masjid Agung Surakarta. Dan belum juga ada sejarah yang meributkan keberadaan toa, jika pun ada itu hanya individu. Bahkan di beberapa negara di luar Indonesia, suara azan menggunakan pengeras suara menjadi suatu kebanggaan dan nilai keindahan sendiri untuk dapat dinikmati dan menggembirakan. Dan pada realitanya di Indonesia, banyak umat non Islam tidak merasa terganggu dengan suara toa yang mengeluarkan suara antunan ayat suci Al Qur’an dan suara azan. Bahkan ada beberapa umat selain Islam merasa terbantu mengingatkan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari.
Sisi Lain Fungsi Toa
Mari kita fahmi juga bahwa fungsi toa tidak hanya untuk kepentingan ke Islaman seperti azan, iqomat, tilawah al Qur’an dan kajian lainnya. Namun jauh dari itu fungsi toa di berbagai masjid dan musolah juga sebagai tempat mengumumkan berita duka cita (kematian). Dan tidak pernah masjid melarang pengumuman kematian umat selain Islam, namun semua difasilitasi oleh pengurus masjid dan musholah. Lihat bagaimana sibuknya pengurus masjid mengumumkan berita duka cita dimasa covid-19, semua mengetahui meninggal karena covid atau bukan karena pengumuman dari toa-toa masjid dan musolah. Disini toa masjid berfungsi untuk mengurangi penyebaran virus covid 19.
Belum lagi pemberitahuan jadwal dan tempat vaksinasi, hal ini pun dilakukan melalui toa-toa masjid dan musola. Bahkan pengumuman program dari pemerintah pun diumumkan melalui toa yang hari ini di atur oleh pemerintah itu sendiri. Sebenarnya pengeras suara yang ada di masjid itu bukan saja berfungsi dan bernilai ke Islaman saja, melainkan di dalamnya ada nilai kehidupan sosial, nilai keadilan waktu, nilai kemanusiaan dan nilai kebersamaan dalam bermasyarakat.
Maka dari sini, terlihat dan dapat difahami bahwa kebijakan yang dikeluarkan minim kajian, miskin dari diskusi dan takut dengan keterbukaan. Jika benar hal itu terjadi, maka kebijakan ini telah merusak nilai-nilai multikultural yang selama ini terjaga dan terawat, bukan saja sesama keyakinan melainkan lain keyakinan. Kebijakan ini telah merusak kerukunan intern umat beragama dan antar umat beragama, apalagi ditambah dengan narasi yang tidak arif dan bijaksana.
Belajar Multikulural dari Toa
Dari toa sebenarnya kita banyak belajar tentang multikultural. Toa telah melahirkan nilai-nilai universal manusia dimana ada pengakuan waktu dan mempola manusia dalam beraktifitas secara otomatis. Suara toa sebenarnya cara menanamkan pengenalan, pemahaman dan penghargaan terhadap suatu kekayaan dalam beragama. Toa juga mengajarkan cara menghindari pandangan-pandangan yang menganggap lebih unggul di kelompok tertentu, menumbuhkan dan membiasakan sikap dialogis berkaitan masalah waktu, keadaan dan jenis kegiatan di tengah-tengah masyarakat.
Waktu terbit fajar, ditanda dengan toa di waktu Subuh berbunyi. Semua manusia diingatkan, tentang waktu pagi yang harus dijemput dengan kesucian. Suara azan itu, tidak hanya didengarkan oleh orang muslim melainkan juga non muslim sehingga ia terbantu mengingat waktu tanpa harus melihat jam di dinding. Begitu pun waktu sholat lainnya seperti Dzuhur, suara toa masjid membantu semua aktivitas baik itu di perkantoran, di pasar, di sawah , di ladang bahkan di lorong-lorong kekuasaan pun, suara ini menjadi pengingat bahwa ini jiwa dan raga ini membutuhkan waktu untuk istirahat.
Di dalam masyarakat majemuk yang ini merupakan sunatullah, jika memberikan munculnya ketegangan, konflik dan krisis sosial. Di sinilah, sebenarnya keadaan menuntut pemimpin bangsa ini untuk dapat memberikan narasi yang merealistiskan multikultural. Narasi itulah yang harus di atur oleh pemerintah sehingga menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis, damai serta menjunjung tinggi harkat, nilai-nilai kemanusiaan dan mengedepankan kemajuan bangsa.
Sudah juga saatnya pemerintah melalui kementrian agama, mengeluarkan kebijakan yang menjadikan masyarakat itu mampu beradaptasi dengan berbagai perbedaan keyakinan dan golongan. Dimana kebijakan itu tidak terlepas dari akar agama, budaya, jatidiri bangsa dalam masyarakat yang plural ini. Maka kebijakan itu semua merasa memiliki dan betangung jawab dalam pelaksanaannya.
Semestinya kebijakan kementrian agama itu harusnya: Pertama. kebijakan yang menghapus prasangka buruk dan sekaligus menghadirkan pendidikan, latihan dan mengajarkan untuk membangun karakter masyarakat dalam beragama agar bersikap humanis, pluralis dan demokratis. Kedua, kebijakan dalam rangka membangun pemahaman keberagamaan beragama di masyarakat yang inklusif sehingga lahirlah pengertian dan terciptanya persaudaraan.
Ketiga, kebijakan yang di dalamnya mengajarkan bagaimana cara beragama di tengah masyarakat pluraismenya kuat. Keempat, kebijakan yang menghilangkan diskriminasi, merendahan dan menghinakan. Kelima, kebijakan yang juga mengakuai dan mengakomodasi segala bentuk perebdaan yang terjadi ditengah masyarakat dalam beragama. Keenam, menjaukan kebijakan keagamaan dari kepentingan politik kekuasaan dan kepentingan.
Oleh : Hasbullah
Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu
Mahasiswa Program Doktor UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu
Artikel ini merupakan kiriman pembaca wartamu.id. (Terimakasih – Redaksi)