WARTAMU.ID – Bagaimana hukum menikah saat hamil dalam pandangan Islam? Apakah pernikahan tersebut sah di mata agama? Pertanyaan ini biasanya ditunjukkan pada dua kondisi berbeda, dikutip dari haibunda.com
Pertama, wanita hamil yang ingin menikah setelah bercerai. Kedua, wanita hamil di luar pernikahan dan ingin melegalkan hubungannya di mata agama dan negara.
Ustazah Lailatis Syarifah, Lc., MA., menjelaskan bahwa kondisi pertama hanya berlaku bagi wanita hamil yang sudah melewati masa iddah dan melahirkan. Artinya, jika dia sudah mencapai dua kondisi tersebut, maka dia diperbolehkan untuk menikah lagi setelah bercerai.
“Untuk wanita hamil yang ditinggal oleh suaminya baik bercerai atau meninggal dunia, maka iddah-nya (masa menunggu hingga boleh menikah lagi) adalah sampai melahirkan,” kata Ustazah Lailatis kepada HaiBunda, Selasa (31/8/21).
Penjelasan tersebut sebagaimana dalam firman Allah SWT di surat Ath-Thalaq ayat 65 yang berbunyi:
….وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُن
Artinya:
“Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
ementara untuk wanita hamil karena berzina dan ingin menikah, Ustazah Lailatis menjelaskan bahwa jawabannya adalah tentang orang-orang yang haram dinikahi. Ini dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 22, 23, dan 24 sebagai berikut:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)
Artinya:
- Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji & dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
- Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang;
- Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
PANDANGAN ISLAM TENTANG WANITA BERZINA YANG HAMIL DAN INGIN MENIKAH
Ustazah Lailatis menyebutkan bahwa pada ayat-ayat yang lain juga disebutkan perempuan-perempuan lain selain di pada ayat 22, 23, dan 24, yang haram dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu:
- Perempuan musyrik [QS. al-Baqarah (2): 221]
- Perempuan dalam masa iddah dan ia sedang atau masih mengalami masa haid [QS al-Baqarah (2): 228]
- Perempuan yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya, ia haram dikawini bekas suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya [QS al-Baqarah (2): 230]
- Perempuan yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia [QS al-Baqarah (2): 235]
- Perempuan yang tidak memiliki masa haid lagi dan perempuan dalam masa iddah karena hamil [QS ath-Thalaq (65): 4]
- Mengawini wanita sebagai istri kelima [QS an-Nisa’ (4): 3]
- Perempuan musyrik [QS an-Nur (24)
“Pada ayat-ayat tersebut tidak terdapat perempuan hamil yang tidak memiliki suami. Karena itu boleh menikah dengan wanita hamil yang tidak memiliki suami asal terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat lengkapnya. Jadi, diskriminasi nikah bagi perempuan yang menikah dalam keadaan hamil adalah perbuatan tidak berdasar,” ujar Ustazah Lailatis.
Sementara itu, wanita hamil dapat menikah didasarkan pada hadits:
عَنْ هُرَيْرَةَ قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ.
“Dari Abu Hurairah ra (diriwayatkan), Nabi saw bersabda: anak itu milik pemilik ranjang, dan bagi pelacur adalah batu (hukuman rajam).” (HR al-Bukhari).
Dari hadits tersebut, Ustazah Lailatis mengatakan bisa dapat dipahami ketika seorang wanita hamil tidak menikah, kecuali dengan orang yang menyebabkan kehamilannya. Sebab, rahim wanita itu telah menjadi ladang yang telah ditanami bibit dari laki-laki tersebut.
Artinya, pernikahan tersebut diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama. Hal ini juga sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 ayat (1) yang berbunyi, “Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.”
“Namun, jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan dan kemudian memaksa wanita hamil untuk menikah dengan lelaki yang tidak menghamilinya, berdasarkan ayat-ayat tentang wanita yang dilarang dinikahi di atas, maka kembali lagi jawabannya adalah tidak ada larangan menikahi wanita yang sedang hamil dan tidak memiliki suami (tidak diceraikan atau ditinggal meninggal dunia),” ungkap Ustazah Lailatis.
“Tapi, tentu saja hal itu harus berdasarkan pengetahuan laki-laki tersebut atas kehamilan perempuan tersebut dan keridhaannya. Sebab, tujuan utama pernikahan adalah membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Salah satu cara agar keluarga sakinah adalah pernikahan didasari atas pengetahuan dan persetujuan kedua belah pihak,” sambungnya.
Hamil di luar pernikahan dalam Islam dipandang sangat buruk. Meski begitu, kita tak dapat sembarangan menilainya sebagai sebuah najis atau istibra.
Ustazah Lailatis memaparkan bahwa istilah istibra tidak bisa dihubungkan dengan wanita hamil yang menikah. Tapi hubungannya adalah dengan najis.
“Tapi, bila dianggap wanita hamil adalah najis, ini juga tidak perlu dipertanyakan, apa yang najis? orangnya? tentu tidak karena tubuh manusia tidak dianggap najis dalam hubungannya dengan ‘bersuci’,” kata Ustazah Lailatis.
“Namun jika karena perbuatannya (berzina) lalu dianggap najis itu juga tidak sesuai. Sebesar apa pun dosa yang manusia lakukan tidak bisa membuat dia dihukumi ‘najis’. Walaupun dalam Islam perbuatannya harus dihukum, tapi tidak menjadikannya bersifat ‘najis’. Wallahu a’lam.”