Kendi Padasan, Literasi Budaya dan Sains

Kendi Padasan, Literasi Budaya dan Sains (Eko Prasetyo)

WARTAMU.ID, Humaniora – Untuk mengetahui arti literasi secara harfiyah, rasanya sudah banyak sekali referensi dan informasi yang bertaburan di berbagai artikel yang bisa kita dapatkan. Baik dalam buku pedoman, buku bacaan maupun lewat searching google di intermet. Kata ‘literasi’ juga bukanlah kata yang asing bagi para pelajar, pendidik, akademisi, penulis, pegiat serta bagi kalangan praktisi lainnya. Sebab dalam pergumulan keseharian yang dilakukan oleh kalangan tersebut, kata literasi sudah sering diperdengarkan, dibicarakan, dipelajari, didiskusikan dan bahkan dipraktikkan. Namun demikian, kata ‘literasi’ yang hanya terdiri dari 8 huruf ini akan sangat sulit diterima dan sangat sulit dimengerti bagi para petani marginal, buruh, nelayan pesisir maupun orang-orang yang terbelakang dalam aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan geografis. Bagi kaum terbelakang atau dalam istilah tertentu disebut kaum proletar, kata literasi itu seperti barang aneh sekaligus sesuatu yang sangat asing. Padahal bisa jadi bahwa dalam aktivitas keseharian, apa yang dilakukan oleh kaum marginal dan proletar tersebut adalah literasi yang sesungguhnya. Literasi yang bukan sekedar pengertian teori, namun literasi yang bertransformasi secara maknawiyah. Apa contohnya?

Masih ingatkah pada masa kecil kita yang berdomisili di perkampungan atau menurut cerita dari kakek dan nenek kita, bahwa pada masa itu hampir di setiap rumah selalu ada padasan semacam kendi atau gentong yang terbuat dari tanah liat yang diletakkan di depan rumah. Fungsi padasan tersebut adalah untuk menyimpan air bersih yang digunakan untuk membasuh muka, tangan dan kaki yang kotor sebelum masuk ke dalam rumah. Tak jarang air yang ada di dalam kendi tersebut juga digunakan untuk minum bagi siapapun yang ingin meminumnya, termasuk anak-anak perkampungan. Bahkan untuk berwudhu. Entah bagaimana cara kendi ini bekerja, yang jelas selain bersih, air yang tersimpan di dalam kendi memiliki efek dingin dan segar. Tradisi meletakan kendi/gentong di depan rumah kala itu adalah sebuah tradisi yang jika ditarik dalam dimensi literasi, merupakan bentuk literasi budaya yang berimplikasi pada pengetahuan. Baik dalam bidang kesehatan, kebersihan juga kultur sosial. Contoh kendi itu tanpa disadarai merupakan penerpan literasi secara maknawiyah dalam bingkai budaya.

Kemudian apakah kendi padasan tersebut relevan dengan era modern saat ini? Kita harus ingat, bahwa di zaman saat ini kita mengalami pertarungan hebat antara umat manusia yang melawan Covid-19. Pertarungan massal manusia yang ada di seluruh dunia dengan wabah penyakit yang menewaskan 16,6 juta orang (Data World Health Organization, 31 Desember 2021). Upaya preventif dan represif dilakukan dengan pola New Normal, salah satunya yakni rajin mencuci tangan dan menggunakan masker serta hand sanitiser. Hampir tiap rumah kita dan termasuk perkantoran serta fasilitas umum lainnya, menyediakan ember, galon, bak dan tempat penyimpan air lainnya untuk sarana cuci tangan. Hal itu menegaskan bahwa kendi padasan adalah medium literasi budaya dan sains yang masih sangat relevan hingga saat ini. Di tempat tinggal saya di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung, masih saya jumpai budaya kendi padasan di daerah perkampungan. Tepatnya di kampung Tanjung Sari, Tanjung Raja Sakti, Bumibaru dan beberapa kampung lainnya. Inilah pembuktian literasi dalam bingkai sains dan budaya yang bisa diterapkan tidak hanya oleh kaum borjuis metropolitan, tapi juga kaum proletar marginal.

Saya yakin, selain kendi padasan, secara tak sadar masih banyak lagi contoh-contoh lainnya yang merupakan praktik baik literasi. Seperti kita ketahui bersama, bahwa ada enam literasi dasar yang menjadi pedoman dalam penerapan gerakan literasi (baca-tulis, finansial, digital, numerasi, sains, budaya-kewargaan). Menerapkan literasi dasar ini juga bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Bahkan di wilayah tertinggal, terluar dan terdepan (3T). Literasi tidak tersekat oleh ruang-ruang patron. Dan cara paling efektif yakni dengan pendekatan budaya. Setiap wilayah pasti memiliki kearifan lokal yang menjadi ciri budaya suatu daerah yang dianut dan menjadi tradisi. Literasi akan mudah masuk apabila melalui pendekatan budaya. Dan kendi padasan adalah salah satunya. Salam Literasi.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *