RAGAM  

Mahallul-qiyam dalam Shalawat, Adakah Tuntunannya?

Ilustrasi Gambar oleh mostafa meraji dari Pixabay

WARTAMU.ID, Yogjakarta – Shalawat itu berarti doa, memberi berkah dan ibadah. Shalawat Allah kepada hambanya dibagi dua, khusus dan umum. Shalawat khusus ialah shalawat Allah kepada para Rasul atau Nabi-Nya, teristimewa shalawat Allah kepada Nabi Muhammad saw. Shalawat umum, ialah shalawat Allah kepada hamba-Nya yang mukmin. Umat Islam diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw (QS. Al Ahzab: 56).

Adapun mahallul-qiyam merupakan suatu ritual atau kegiatan membaca shalawat kepada Nabi saw. dengan cara berdiri sebagai bukti menghormati kedatangan Rasulullah saw. pada kegiatan tersebut. Merasakan kehadiran Rasulullah saw. pada saat itu merupakan puncak dari shalawat dan ungkapan atas kebahagiaan itu adalah berdiri sambil membaca shalawat yang mengagung-agungkan Nabi Muhammad saw.. Tentang kegiatan seperti ini belum diketahui anjuran dan tuntunan dari dalil yang sahih lagi makbul. Bahkan ketika Nabi saw. masih hidup, kalau beliau hadir di suatu majelis, beliau melarang para sahabat berdiri menghormatinya. Beliau adalah Nabi, bukan raja yang harus dipuji berlebihan.

Kegiatan seperti ini bahkan bertolak belakang dengan hadis Nabi saw: Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) ia mendengar Umar r.a. berkata di atas mimbar: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kalian puji aku berlebih-lebihan, sebagaimana kaum Nasrani memuji berlebih-lebihan terhadap (al-Masih) ibnu Maryam. Tetapi katakanlah aku (Muhammad) adalah hamba dan utusan-Nya (Allah) [HR al-Bukhari].

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa shalawat itu adalah doa, dan shalawat merupakan bagian dari ibadah. Melaksanakan ibadah sudah seharusnya berdasarkan pada tuntunan yang ada, dan sementara ini belum ditemukan tuntunan ketika membaca shalawat itu harus berdiri seperti yang dilakukan di dalam mahallul-qiyam. Oleh sebab itu melaksanakan kegiatan mahallul-qiyam ketika membaca shalawat bukanlah suatu anjuran agama dan tidak ada manfaatnya. Bahkan, menambah-nambah suatu perkara di dalam masalah agama itu amalannya tertolak.

Dalam hadis disebutkan: Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak [HR al-Bukhari].

Keberadaan dalil dalam membolehkan suatu ibadah itu menjadi penting, sesuai dengan kaidah Fikih yang menyatakan: Hukum asal dari ibadah itu batal sampai ada dalil yang memerintahkannya. Dengan demikian, melakukan perbuatan berdiri sebagai ritual ketika membaca shalawat Nabi saw. atau disebut mahallul-qiyam itu tidak perlu dilakukan karena tidak ada dasar tuntunannya.

Sumber : muhammadiyah.or.id