WARTAMU.ID – Malam tahun baru Hijriah 1 Muharam 1443 akan jatuh pada Selasa, 10 Agustus 2021 nanti. Pemerintah melalui SKB 3 Menteri Nomor 642 tahun 2020 menetapkannya sebagai hari libur nasional, pada esok harinya, Rabu, 11 Agustus 2021, dikutip dari tirto.id
Dalam tradisi Islam, tanggal 1 Muharram diperingati karena adanya peristiwa bersejarah. Tanggal 1 Muharram merupakan awal ekspedisi hijrah Nabi Muhammad dari Makah ke Madinah.
Muhyiddin Khazin dalam Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek (2004) menyebut, memang Rasulullah melakukan hijrah dua bulan berikutnya tepatnya pada 12 Rabi`ul Awal tahun 1 Hijriah mamasuki kota Madinah setelah hampir 12 hari menempuh perjalanan di malam hari.
Akan tetapi, ekspedisi hijrah sudah dimulai beberapa waktu sebelumnya. Ustman, Zaid, Hamzah dan para sahabat lainnya diperintah Nabi Muhammad untuk berangkat pada malam 1 Muharram.
Peristiwa tersebut menandai sebuah babak baru dalam dunia Islam. Kemudian pada masa khalifah Umar pembuatan kalender Hijriyah dimulai, dan diberlakukan mundur 17 tahun, terhitung sejak tahun hijrah Makah-Madinah.
Sementara itu, dalam tradisi Jawa, tanggal 1 Muharram disebut sebagai Malam 1 Suro. Jika dalam budaya Islam tanggal tersebut merupakan hari suci karena sebagai penanda resolusi kalender Islam, dalam tradisi Jawa justru dianggap sakral dan mistis.
Beda 1 Muharram dan 1 Suro
Secara umum, 1 Muharram dan Malam 1 Suro adalah sama. Yang membedakan keduanya hanyalah dalam hal penyebutan dan tradisi yang mengiringinya. Jika 1 Muharram adalah penanda tahun baru hijriah, 1 Suro adalah tradisi serupa dalam budaya Jawa.
Sebagaimana dicatat Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), kata “Suro” sendiri berasal dari bahasa Arab “Asyura” yang artinya sepuluh. Yang dimaksud dengan Asyura adalah hari ke sepuluh pada bulan Muharram.
Sementara dalam hal tradisi, jika dalam Islam malam 1 Muharram dimaknai dengan penuh kesucian, budaya Jawa justru sebaliknya. Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam sakral, penuh mistis. Sehingga dalam menyambutnya, berbagai upacara-upacara peringatan penuh klenik dilakukan.
Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam mistis tak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Muhammad Solikhin, misalnya, berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton.
Ia menulis, keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, salah satunya peringatan Malam 1 Suro. Peringatan ini pada akhirnya terus diwariskan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi.
Lebih lanjut, terkait mengapa Malam 1 Suro dimaknai secara mistis, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia Prapto Yuwono menjelaskan, hal ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Pada kurun 1628-1629.
Kala itu, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.
Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.
Kesakralan Malam 1 Suro juga juga tak terlepas dari komposisi sosiologis masyarakat Jawa yang masih sangat bersifat paganistik Hindu.
Bahkan, nuansa animisme dan dinamisme masih terlihat sangat kental. Hal tersebut terlihat dengan adanya berbagai macam sesaji yang digunakan dalam pelaksanaan prosesi peringatan.