Menuju Pilkada 2024 : Ancaman bagi Persatuan dan Kebhinekaan

Dalam pandangan generasi milenial dan generasi Z terhadap dunia politik bisa dikatakan jika generasi tersebut menjadi salah satu penyumbang hak suara terbesar dalam perhelatan politik yang akan datang

WARTAMU.ID, Humaniora – Tahun politik menjadi momentum para pejabat yang ingin mendapatkan kekuasaan  dengan menggunakan berbagai cara, termasuk politik identitas atau strategi politik yang memanfaatkan identitas kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politik tertentu. Tidak jarang kita mendapati masyarakat yang terpecah belah karena perbedaan pilihan, bahkan dalam satu keluarga. Upaya apa yang perlu dilakukan supaya kita bisa menjaga persatuan di tahun politik.

Pemilihan kepala daerah 2024 (Pilkada) akan menjadi sebuah momen penting demi menuju negara demokrasi. Seperti halnya pesta demokrasi umumnya, Pilkada 2024 tidak hanya  menjadi ajang pemilihan pemimpin daerah saja, namun juga menjadi ajang yang mencerminkan dinamika politik, partisipasi masyarakat, dan perkembangan sosial ekonomi di berbagai daerah.

Dalam pandangan generasi milenial dan generasi Z terhadap dunia politik bisa dikatakan jika generasi tersebut menjadi salah satu penyumbang hak suara terbesar dalam perhelatan politik yang akan datang. Jika dilihat dari beberapa akhir ini, generasi milenial banyak yang terjun langsung ke dalam perpolitikan Indonesia tepatnya dalam sejarah Pemilu 2024 kemarin dan Pilkada serentak 2024 menjelang. Banyak generasi milenial yang maju mencalonkan dirinya untuk ikut berpartisipasi dalam perhelatan dunia politik Indonesia. Dalam hal ini generasi milenial termasuk ke dalam lingkup kalangan yang aktif dalam perhelatan politik di negara ini.

Namun, berbeda dengan generasi Z yang menjadi salah satu penyumbang hak suara terbesar dalam perhelatan politik. Generasi Z cenderung masuk ke dalam kategori mengidap penyakit labilitas dan emosionalitas. Bisa dikatakan jika kalangan generasi Z masuk ke dalam pusaran antara antusiasme politik dan apatisme politik, pada sisi mereka bersemangat mendengar bahkan mengikuti berita-berita politik melalui sosial media yang sudah menjadi salah satu aspek kehidupan mereka, dan di sisi lain belum tentu mereka mempunyai antusiasisme yang simetris dengan realitas perilaku politiknya. Banyak generasi Z yang sudah melek akan sejarah politik Indonesia bahkan mereka pun sering kali menarik dengan jejak digital para paslon yang akan maju tersebut. Faktor tersebutlah yang bisa menjadikan generasi Z mengidap penyakit labilitas dan emosionalitas dalam konteks perpolitikan.

Jika dilihat dari kedua sisi generasi milenial dan generasi Z tersebut, generasi milenial yang berani terjun langsung maju mencalonkan diri dalam perhelatan dunia politik Indonesia harus mampu membuat ulang citra baik terhadap dunia politik terhadap generasi Z.

Dalam tahun politik Indonesia seperti tahun ini, banyak kejadian-kejadian yang menjadi sebuah sorotan, seperti halnya penggunaan politik identitas. Dapat diambil contoh pada mobilisasi massa dalam Aksi 411 dan 212 di Jakarta sendiri yang menjadi bukti nyata menguatnya muslim di beberapa daerah Indonesia dalam merespons isu penodaan agama yang dilakukan Ahok. Bisa dikatakan jika mobilisasi massa tersebut bernuansa politisasi agama.

Munculnya praktik politik identitas bukanlah hal yang baru di negara ini, dikarenakan setiap datangnya tahun politik para-para pejabat yang ingin meraih kekuasaan dan keuntungan material tertentu menggunakan semua cara untuk mendapatkan semua itu. Isu agama dijadikan bahan jual beli dalam sebuah ajang kontes politik sudah memiliki ruang yang besar di negara ini. Di mana negara yang memiliki mayoritas agama tertentu menjadi tempat yang sangat relevan untuk melakukan politisasi agama, dikarenakan pembahasan bahkan praktik tersebut akan sangat laku dan menjadi kekuatan yang besar untuk para pejabat mencapai tujuan kekuasaan politik.

Pada tahun politik akhir-akhir ini panasnya agama dan politisasi menjadi perbincangan yang selalu ramai di kalangan masyarakat. Politisasi agama sendiri bisa diartikan jika penggunaan norma, doktrin, ajaran, prinsip, teks, dan simbol-simbol keagamaan untuk mencapai sebuah tujuan politik praktis-kekuasaan. Bisa dikatakan jika agama dapat digunakan, dimanipulasi, dan eksploitasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik identitas dan kekuasaan tertentu baik pihak kelompok sosial maupun individu.

Fenomena politik identitas yang selalu dikemas dalam populisme Islam, suku, ras, dan budaya kalau berada di tangan para pemimpin dan politisi yang tidak berani melawan arus, populisme tersebut bisa berubah menjadi racun yang akan membunuh demokrasi secara perlahan tapi pasti.

Politik Identitas

Politik identitas sendiri pertama kalinya populer di Amerika Serikat, dikarenakan pada saat itu tingkat diskriminasi sangat tinggi antara ras kulit hitam dan ras kulit putih. Dalam persepsi Cressida Heyes (2007) politik identitas mendefinisikan sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu.

Terdapat beberapa pandangan dalam sebuah fenomena politik identitas, Pierre Van Den Bergh (1991) maupun Ubed Abdilah (2002) menjelaskan tiga perspektif teoritis dalam mengkaji fenomena politik identitas yaitu primordialisme, konstruktivisme, dan instrumentalisme.

Dalam pendekatan pertama, argumentasi primordialisme yang melihat fenomena agama dalam kategori sosio-biologis. Dalam pandangan ini memiliki perspektif jika kelompok sosial dapat dikarakteristik oleh gambaran wilayah, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial sebagai hal “given” dan tidak bisa dibantah.  Dan secara konseptual, pandangan ini menekankan kehadiran identitas etnik dan agama primordial memiliki sebuah fungsi sebagai perekat sebuah komunitas. Para pendukung primordialisme secara definitif menekankan pada pencapaian kepentingan kolektif dan kemampuan identitas kolektif untuk mendefinisikan dan mengartikulasi perspektif umum tentang sejarah. Pendekatan primordialisme mengatakan bahwa kepentingan individu anggota agama didukung oleh kepentingan kelompok dan pemimpinnya untuk memperkuat basis agama sebagai kekuatan sosial. Namun, dalam pendapat ini tidak bisa dipertahankan secara metodologis karena membatasi ruang tafsir dan penerangan akan perubahan fenomena sosial yang terjadi secara waktu ke waktu.

Pendekatan kedua adalah konstruktivisme yang dikembangkan oleh Frederik Barth. Di dalam teori ini memiliki pandangan identitas agama dan budaya, sebagai hasil dari proses yang kompleks, di mana batas-batas simbolik terus dibangun dan membangun, oleh manfaat mitologi yang berlangsung melalui bahasa maupun pengalaman masa lampau. Frederik Barth sendiri lebih jauh memiliki argumentasi jika agama dan etnisitas mengalami banyak perubahan terus menerus dan bahwa batas keanggotaan suatu kelompok etnik sering dinegosiasikan dan dinegosiasikan kembali.

Menurut konsep identitas situasional, setiap orang akan melakukan proses komunikasi melalui pertukaran simbol, pembentukan makna, dan menetapkan tujuan dalam kehidupan sehari hari mereka dengan situasi, kondisi, dan tujuan yang ingin dicapai.

Di dalam sebuah dunia politik salah satu faktor terbesar di dalam besarnya pemilih adalah faktor persamaan agama. Jika dilihat dari setiap tahun politik yang ada pemilih cenderung memilih paslon politik yang memiliki kesamaan agama dengannya.

Politik identitas bisa membawa dampak atau efek yang signifikan terhadap lingkup sosial baik sisi positif maupun negatif.

Dalam hal ini politik identitas juga menjadi sebuah tantangan bagi para aktor politik dalam membangun sebuah negara demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Di dalam sebuah sistem demokrasi juga memberi peluang dan kesempatan berkembangnya suatu pemahaman politik yang muncul dari perbedaan budaya di Indonesia. Sebab itu seharusnya politik identitas berjalan sesuai dengan kerangka prinsip berdemokrasi dan tidak mengandung sebuah unsur kekerasan atau intimidasi terhadap suatu kelompok yang berbeda.

Oleh : Ahmad Khoirul Ikhsan Sazali

Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) / NIM : 2200030373