WARTAMU.ID, Humaniora – Sejak masa penjajahan, peran strategis pelajar di nusantara begitu dekat dengan dunia politik. Meskipun politik yang dimaksud bukanlah politik transaksional dan politik pragmatis, melainkan politik nilai dan gagasan. Meminjam istilah Bung Hatta, bahwa politik merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pelajar Indonesia. Pernyataan Bung Hatta ini seharusnya menjadi fondasi awal bagi pelajar untuk lebih semangat menciptakan politik yang lebih hangat dan positif. Menjadi spirit tersendiri untuk mengisi ruang-ruang yang hari ini masih kosong, politik nilai misalnya.
Dalam konteks demokrasi, perebutan wacana yang terkadang malah memecah belah persatuan begitu banyak diproduksi oleh pihak-pihak yang sedang berkontestasi. Ketika tidak ada penyeimbang narasi yang menyejukkan dan membuat adem-ayem, maka entitas dan irama demokrasi Indonesia akan begini-begini saja. Mendiskreditkan lawan politik dan memenangkan isu-isu yang tidak produktif di media merupakan hal yang sudah sangat biasa dalam percaturan politik di negeri ini. Penyelenggaraan pemilu 2019 pun masih sangat bisa dirasakan polarisasinya, meskipun gejolak yang terjadi di masyarakat mulai melandai seiring dengan berjalannya waktu.
Pengaruh pelaksanaan pemilu yang lalu tentu berdampak pada semua aspek kehidupan, tidak terkecuali aktivitas anak muda-pelajar yang ketika ngopi biasanya merefelksikan hal-hal negatif akibat pemilu 2019. Dalam tataran pelajar Muhammadiyah yang rentan usianya 17-24 tahun (batas pelajar memilih dan batas maksimal ber-IPM) seharusnya yang muncul adalah diskusi-diskusi ide dan gagasan yang memang menjadi khasnya IPM. Bukan malah asyik berdiskusi siapa membantu siapa lalu dapat apa. Memang harus diakui ketika sudah level wilayah sampai pusat usia dan nalarnya sudah mulai bisa menganalisis hal-hal yang berbau pragmatis. Tetapi perlu diingat bahwa genealogi dan habitus di kalangan pelajar tidak serta merta menelan hal yang sedemikian pragmatisnya.
Lalu menjadi pertanyaan besar, pada penyelenggaraan pemilu dimana dan bagaimana posisi IPM?, tidak dapat dipungkiri bahwa peran dan provokasi senior menjadi salah satu pintu orientasi kader melihat cakrawala politik. Tapi kadangkala para senior ini offside dalam memperkenalkan politik kepada kader dibawahnya. Alih-alih mengenalkan kadernya untuk bisa melihat dunia politik, mereka malah banyak mengklaim organisasi IPM sebagai alat yang hak suaranya bisa dikapitalisasi. Ada yang demikian? Banyak!. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan bagi pimpinan di IPM untuk punya cakram-cakram yang tidak boleh dilewati dalam hal-hal politik praktis-prakmatis, termasuk meng-counter hegemoni senior yang begitu luar biasa dampaknya.
Sebagai penjaga gawang ideologi Muhammadiyah, penanaman nilai ideologi harus menjadi doktrin yang sangat kuat di kepala para kader. Meskipun juga sangat penting mengenalkan nilai-nilai dalam politik kepada kader supaya nantinya tidak terbawa dalam politik yang tidak sehat seperti politik identitas, politik uang dan kampanye hitam. Yang faktor-faktor tersebut jika diakumulasikan nantinya akan berdampak pada polarisasi negatif di tengah-tengah masyarakat. Pada titik tertentu pelajar sudah mampu membedakan mana politik yang sehat dan mana politik yang memelihara kucing kurap. Tetapi ini semua harus terus dirawat supaya kesehatan mental kader IPM menjelang pemilu yang akan datang dapat tetap terjaga dengan baik.
Dalam bingkai politik praktis, usia pelajar menjadi salah satu objek empuk untuk digerogoti nalarnya dan dikapitalisasi suaranya. Maka menghidupkan diskusi-diskusi rutin tentang demokrasi yang sehat sangat penting dilakukan di kalangan pelajar. Sehingga diharapkan pelajar menjadi satu-satunya generasi yang tidak dapat dikomersilakan nilai votingnya. Mengingat hampir semua generasi sudah terang-terangan menjadi pelacur dalam penyelengaraan pemilu.