WARTAMU.ID, Humaniora – Memang, takdir kehidupan bukanlah bagian yang harus diketahui. Semuanya telah ditentukan dalam ritme semesta. Sang Pencipta telah menetapkan ketentuan itu untuk sirkulasi kehidupan yang terus melaju. Disinilah sebuah pemahaman diperlukan untuk memaknai derap tapak kehidupan manusia.
Aku mencoba memaknai derap kehidupan itu dengan dialektika yang terbangun. Bersama realitas yang terjadi, pemaknaan itu menemukan singgasana terbaiknya. Memang, takdir kehidupan menyimpan misteri yang tak akan mungkin terungkap.
Semuanya menjadi satu kesatuan dalam gerbong kehidupan. Tidak seorangpun mampu memutuskan gerbong tersebut. Semuanya terangkai erat dalam alur semesta. Semuanya terjaga dengan sempurna oleh Sang Pencipta. Terjaga dalam kesatuan kosmos yang paipurna
Aku tak mungkin sanggup untuk menerobos masuk. Tiada kekuatan yang dapat membantuku untuk memasuki lembah takdir itu. Aku hanyalah manusia biasa yang telah dianugerahkan beragam kelemahan. Maka, langkah terbaikku adalah memaknai ragam peristiwa itu sebagai alur cerita yang tercipta.
⸙⸙⸙⸙⸙
“Mas, tidak semestinya perilaku itu ada padamu. Bukankah nilai kebajikan yang selama ini ada, justru akan menjadi bumerang tersendiri dalam kariermu?” tanya Albert dengan nada tinggi.
“Bukan begitu, justru saya yang seharusnya marah padamu, mengapa dirimu sanggup mengorbankan nilai persahabatan hanya untuk sebuah popularitas. Bukankah itu merupakan sebuah pengangkangan nilai kepantasan telah dirimu pertontonkan?” jawabku tak mau kalah.
“Tidak bisa begitu, Mas. Kenyataan bahwa keberpihakan itu telah mengisyaratkan sebuah simbol persetujuan. Saya tidak mungkin menerima kejanggalan ini sebagai sebuah kesalahan sederhana,”
“Jadi, kamu menuduhku terlibat dan menganggap ada keberpihakan?” selidikku dengan nada meninggi.
Albert terdiam tanpa kata. Lelaki itu hanya membisu sambil menghembuskan asap rokok.
“Jika keyakinanmu itu nyata, maka saya rela dipersalahkan atas apa yang terjadi. Saya siap untuk memikul tanggungjawab ini sebagai bagian dari kesepakatan yang telah terjadi. Jangan sampai persepsimu itu melahirkan tafsiran-tafsiran liar yang akan merusak kebersamaan yang telah terbangun,” ujarku selanjutnya.
⸙⸙⸙⸙⸙
Monumen patung Ryacudu menjadi persaksian penting atas kepingan sejarah kehidupanku. Angin yang berhembus perlahan mengisyaratkan sebuah kedamaian untuk mencoba memerdekakan dialektika yang terjadi. Kesejukan itu kemudian membuka pintu dialog rasional dalam kesendirianku.
Barangkali kutukan sejarah telah berlaku jika memang hal itu ada. Sebuah kehidupan yang berliku akan memberikan sebuah akibat tak terhingga. Bagaimana tidak, perjuangan panjang telah mengorbankan beragam identitas, melebur bersama sebuah kesepakatan.
“Aku tak menyangka atas peristiwa ini, Mas. Begitu gegabah Albert membuat opini yang begitu kejam,” ujar Miestra sambil duduk mensejajariku.
“Memang, begitulah ritme kehidupan. Banyak kejutan-kejutan yang tidak pernah terduga,” jawabku berdiplomatis.
“Tapi, tidak semestinya kejadian itu terbawa dalam urusan internal. Saya kwatir jika awan hitam akan menjadikan banjir yang begitu hebat,”
“Ah, ucapanmu itu menakutkan rasionalitasku,” jawabku sambil tertawa.
“Aku serius, Mas. Logika awamku mengatakan bahwa gejolak pergerakan itu kian nyata dan ada. Bukankah ini berbahaya?” lanjut lelaki penyuka kopi itu.
“Oh, ya? Bukankah itu sebuah isyarat untuk mendewasakan kita? dan bukankah gejolak yang terjadi merupakan akibat dari kerdilnya sebuah pola pikir?” jawabku sambil menoleh kearah Miestra.
Sejujurnya aku menyadari bahwa pergolakan itu tidak boleh bersemayam terlalu lama. Jika itu terjadi, maka besarnya ombak akan menggulung jalinan keakraban yang telah tersemai. Apakah ini bagian dari skenario sebuah takdir? Entahlah.
⸙⸙⸙⸙⸙
Memang, sebuah ingatan terkadang membuat hati berontak. Betapa tidak, sebuah intervensi terjadi saat keharmonisan sedang tumbuh berkembang. Aku tidak pernah berfikir jika balutan takdir ini harus terjadi. Begitu kecewa saat menyaksikan sebuah realitas yang tak seharusnya terjadi.
Seakan kehabisan sebuah diksi, aku mencoba menyepi dalam pergolakan itu. Membiarkan sementara semua keangkuhan membumbung bersama angin yang berhembus sore itu. Aku mencoba melepaskan keangkuhan itu dalam bayang-bayang patung sang Jendral. Berharap semua gemuruh berlalu bersama senja yang akan segera tiba.
Aku berusaha untuk tegar untuk menerima takdir yang terjadi. Bertahan dalam menjaga norma yang tertuliskan. Bersabar untuk tidak mengaburkan struktur realitas pergerakan. Semuanya akan aku lakukan untuk memastikan bahwa nalar rasionalitas itu tetap terjaga. Memastikan semuanya kembali kepada cita-cita yang telah disepakati.
Jika aku rapuh, maka tafsiran-tafsiran liar itu kian mengental. Semuanya akan membiarkan apa yang telah terjadi. Aku harus menetralisir tafsiran-tafsiran itu agar menjadi kebajikan yang nyata. Aku percaya bahwa sebuah peristiwa akan mendewasakan pemahaman dalam meniti kehidupan ini.
⸙⸙⸙⸙⸙
Suasana monumen patung Ryacudu masih sepi saat sebuah notifikasi komunikasi terdengar. Bersegera aku membuka handphone seraya mengabarkan keberadaanku. Aku berharap Miestra segera datang membersamai kesendirianku.
“Maafkan, Albert ya Mas. Dia telah menggoreskan luka dan luapan emosimu,” ujar Miestra singkat.
“Tidak penting untuk membuka temaram sejarah itu, Semuanya telah mengabadi dalam noktah sejarah kehidupan yang tak mungkin terulang kembali,” jawabku sambil menyalakan sebatang rokok.
“Jujur, saya tak mampu mengurai segala fakta tersebut. Bagi saya, apa yang telah terjadi merupakan bagian dari perjalanan kehidupan. Entah bagaimana kelanjutan sebuah episode ini,
“Poin pentingnya adalah bagaimana menyikapi ini dengan kebijakan dan rasionalitas tertinggi. Akal terkadang tak mampu mendamaikan sebuah realitas. Namun, pemaknaan akan sebuah kedewasaan itulah yang dapat membantu menyelesaikan persoalan ini,”
Kehidupan ternyata memberikan ragam pilihan. Tidak semua pilihan itu mampu menyajikan hidangan rasionalitas yang bijaksana. Terkadang sebuah keyakinan personal akan memberikan persoalan tersendiri. Terkadang, apa yang menjadi kebenaran individual harus berhadapan dengan kebenaran yang hakiki.
Blambangan Umpu, 18 September 2022
Penulis : Munawar
⸙⸙selesai⸙⸙
Bionarasi : Menulis adalah salah satu kegemaran bagi pemilik nama Munawar ini. Menurutnya menulis sangat mengasyikkan. sekaligus menghibur. Memberikan ketenangan yang nyata. Penulis yang berdomisili di Umpu Kencana Blambangan Umpu Way Kanan ini, berharap, melalui sebuah tulisan, akan tercipta cakrawala berfikir yang realistis sekaligus rasional.