RAGAM  

Beyond Pasca Ramadhan

Oleh : HERIMIRHAN, S. Ag (Guru SMP Lazuardi Haura GCS, Pengurus DPW AGPAII Prov. Lampung)

Oleh : HERIMIRHAN, S. Ag (Guru SMP Lazuardi Haura GCS, Pengurus DPW AGPAII Prov. Lampung) / wartamu.id

WARTAMU.ID, Suara Pembaca – Bulan Ramadhan 1443 H telah berlalu, bulan yang selalu dinantikan setiap perputaran waktu selama satu tahun. Karena mengandung berbagai keutamaan yang luar biasa “Seandainya umatku mengetahui keutamaan di bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan berharap setahun penuh Ramadhan.” (HR Ibnu Khuzaimah). Satu pertanyaan penting yang dapat dipetik pada saat ramadhan telah berlalu. Apakah kita sebagai umat yang beriman benar benar sudah sampai pada derajat takwa sebagaimana tujuan dari puasa Ramadan mencetak pribadi yang bertakwa “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” Qs.Al-baqarah 183.

Secara etimologi takwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi. Sedangkan secara terminologi, takwa merupakan sebuah sikap takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Mengutip pendapat Ibnu Qayyim, “Hakikat takwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Oleh karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya, yang diperintahkan-Nya disertai dengan pembenaran terhadap janji-jani-Nya. Dengan imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-Nya.

Konsep takwa juga sering disebut dalam Al-Quran. Di berbagai surat disebutkan beragam sikap dan perilaku yang menunjukan konsep takwa seseorang. di antaranya: memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan. Konsep tersebut juga ditemukan dalam surat Ali ‘Imran ayat 133-134. Firman tersebut berbunyi: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”

Dalam Tafsir al-Misbah, Qurash Sihab menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung pesan untuk meningkatkan upaya dalam menjalankan ketakwaan. Jika ayat-ayat yang lain sekedar menerangkan agar menjalankan yang wajib dan meninggalkan yang haram, maka ayat ini lebih menekankan pada peningkatan dengan cara berkompetisi. Kata “bersegeralah kamu” sebagai ketergesaan seseroang untuk meraih ampunan dan berlomba mencapai surga.
Ayat tersebut kemudian diakhiri dengan kalimat al-Muttaqin yang selanjutnya dijelaskan pada ayat ke 134 yang berbunyi: “(yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”
Jika ayat tersbut dikaitkan dengan tujuan puasa ramadhan terdapat satu visi sama dalam penggapai derajat muttaqin (orang bertakwa). Ayat ini juga menjelaskan ciri orang-orang yang bertakwa sebagai ahli surga. Setidaknya dapat dtemukan tiga konsep takwa yang termuat di dalamnya antara lain:

a. Berinfak dalam segala kondisi

Ibnu Katsir menerangkan bahwa berinfaq dalam kondisi lapang maupun sempit bisa diartikan demikian. Namun lebih luas diterangkan bahwa kondisi yang dimaksud juga bisa dalam keadaan giat ataupun malas, sehat ataupun sakit dan dengan segala kondisi apapun. Para ahli surga tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak dilalaikan oleh keadaan apa pun dalam bertakwa kepada-Nya. dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa berinfak dihadapkan pada dua kondisi, yakni keadaan mudah dan susah. Sebagian orang teramat berat untuk menginfakkan harta yang ia cintai. Bila mereka berhasil melakukannya maka itu menunjukan ketakwaan. bersedekah dalam keadaan lapang ialah demi menghapus rasa takabur, cinta harta dan memendam nafsu keinginan karena hartanya. Anjuran berinfak dalam keadaan susah ialah sebagai tantangan, karena pada umumnya mereka dalam kondisi tersebut cenderung meminta dari pada memberi. Maka bagi mereka yang masih bisa menyisihkan hartanya walaupun dalam keadaan susah, itulah ciri ahli surga.

b. Menahan amarah

Menurut Ibnu Katsir, kata al-Kadhimin mengandung makna penuh kemudian menutupnya dengan rapat. Ia mengibaratkan seperti wadah yang penuh dengan air kemudian ditutup dengan rapat agar tidak tumpah. Ini merupakan analogi sederhana untuk menujukan bahwa ketika seseorang marah, keinginan untuk menbalas masih ada. Tetapi, ia mencoba menutupnya hingga tidak terlampiaskan kemarahan tersebut.
Disisi lain, al-Maraghi, menyebutkan bahwa mereka adalah orang yang mampu mengekang amarah dan tidak mau melampiaskannya meskipun hal itu bisa saja dilakukan. Sedangkan mereka yang cenderung menuruti nafsu amarah hingga bertekad untuk dendam, maka bisa dikatakan tidak stabil dan tak mau berpegang pada kebenaran. Hal Ini juga senada dengan sabda Nabi Muhammad saw: “Bahwa Rasulullah saw bersabda: barangsiapa menahan amarah sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan semua manusia hingga Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jelita yang ia kehendaki”(HR. Abu Dawud)

c. Memaafkan sesama

Momentum idul fitri dapat dimanfaatkan menjadi salah satu media saling memaafkan anatar sesame. Memaafkan merupakan tingkatan setelah seseorang mampu menahan amarah, yakni mau memaafkan bermakna menghapus dan maaf. Ini menunjukan bahwa orang yang mau memaafkan berarti ia telah menghapus bekas luka di hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain. Bila pada tahap “menahan amarah”, orang tersebut masih memiliki rasa sakit hati yang terpendam, maka pada tahap ini, orang tersebut benar-benar terhapus dan hilang hingga seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. al-Maraghi berpendapat bahwa ini merupakan tingkat penguasaan dan pengendalian diri yang jarang dilakukan tiap orang.

Mereka yang suka memberi maaf atas kesalahan orang lain dan tidak menuntut balasan merupakan para ahli surga yang sudah dijanjikan Allah melaui firman-Nya. Ibn Katsir mengingatkan bahwa ayat ini ditutup dengan “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” yang mengindikasikan bahwa ketakwaan seseorang berada pada tingkatan tertinggi apabila ia mau berbuat baik pada orang yang telah berbuat kesalahan padanya. Sehingga ia tidak hanya menahan amarah dan memaafkan. Namun, juga membalasnya dengan perbuatan baik.
Semoga kita meraih derajat takwa sebagai wasilah meraih bonus surga-Nya dan diberikan kembali kesempatan uur panjang berjumpa dengan ramadhan tahun depan. aamiin