WARTAMU.ID, Suara Pembaca – Tafsir merupakan sosok karismatik yang telah memberikan keteladanan kepada masyarakat, baik dalam lingkup beliau selaku Ketua PWM Jawa Tengah, maupun tokoh agama dan masyarakat. Barangkali, beliau adalah salah satu, dari sekian tokoh Muhammadiyah yang mencerminkan, “Jadilah intelektual yang ulama dan ulama yang intelek.” Hal ini beliau buktikan dengan capaian gelar pendidikan tertinggi, yakni doktor dalam Bidang Studi Islam. Pada beberapa tulisan ke depan, penulis akan menampilkan buah pikir beliau dalam desertasinya yang berjudul Dinamika Purifikasi Muhamadiyah di Jawa Tengah.
Perkembangan Pemikiran Islam di Tubuh Muhammadiyah
Dinamika perkembangan pemikiran Islam memunculkan berbagai dialektika di dalam tubuh umat Islam, tak terkecuali Muhammadiyah. Abdul Munir Mulkhan sebagaimana dikutip oleh KH. Tafsir dalam desertasinya, memperoleh empat model pengikut (baca : jama’ah) Muhammadiyah. Di antaranya :
Pertama, Al Ikhlas. Pada model ini, kelompok jama’ah Muhammadiyah mengamalkan Islam murni secara konsisten dan fundamentalis sesuai buku Tarjih.
Kedua, model Kiai Dahlan. Kelompok ini hampir mirip dengan model pertama, namun jama’ahnya lebih toleran dengan takhayul, bid’ah dan churafat (TBC).
Ketiga, Munu. Kelompok ini dapat diartikan juga sebagai kelompok neo-tradisionalis, yakni jama’ah Muhammadiyah yang ke-NU-NU-an. Mereka tidak hanya toleran, namun terlibat juga dalam sinkretisme TBC.
Keempat, Marmud (Marhaen Muhammadyah). Pada kategori ini, jama’ah yang lebih terbuka, sinkretis dan pragmatis.
Dengan adanya dinamika di atas, KH. Tafsir berpendapat bahwa dengan adanya multikulturalisme di dalam tubuh jama’ah Muhammadiyah, sedikit banyak menimbulkan konflik, baik internal maupun eksternal. Konflik ini sendiri memiliki dampak konstruktif dan destruktif di dalam tubuh jama’ah. Maka dari itu, beliau menyampaikan bahwa perlu adanya formulasi tentang ar ruju’ ilaa Qur’an wa sunnah (kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai landasan paham agama dalam Muhammadiyah yang lebih sistematis, komprehensif, antisipatif dan aplikatif.
Purifikasi ala Persyarikatan
Purifikasi sebagaimana kita pahami bersama memiliki makna pemurnian. Adapun Muhammadiyah di dalam desertasi KH. Tafsir, memaknai purifikasi sebagai tajdid, sebagaimana menjadi rumusan Muktamar (Munas) Tarjih ke XXII tahun 1989. Lebih detail beliau menjelaskan bahwa tajdid sendiri memiliki dua makna. Pertama, permurnian. Kedua, peningkatan, pengembangan dan modernisasi.
“Pemeliharaan matan ajaran Islam, yang berdasarkan dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah al Maqbulah,” tulis KH. Tafsir tentang definisi tajdid menurut Muhammadiyah.
Upaya tajdid, selama ini dipahami sebagian masyarakat Islam, khususnya Muhammadiyah, sebagai gerakan pemberantasan TBC. Namun, KH. Tafsir menyampaikan bahwa perlu adanya pengkajian ulang tentang konsepsi tajdid yang di dalam masyarakat cenderung digunakan untuk mencoret, mengecam, bahkan upaya penyingkiran akar budaya di tengah masyarakat.
Perihal ini, beliau menyampaikan perlu adanya penjelasan keilmuan sosial dan budaya dalam praktik implementasi konsepsi tajdid; agar masyarakat tidak serta merta membid’ahkan seluruh kebiasaan masyarakat yang disinyalir terdapat serpihan-serpihan TBC di dalamnya. Lebih jauh, beliau juga berpandangan bahwa gerakan purifikasi Muhammadiyah perlu segera memasuki ranah social-ethic (Al-Akhlaq al ijtima;iyyah); tanpa meninggalkan bidang garap yang selama ini telah Muhammadiyah geluti, yakni pada ranah metafisik (aqidah dalam artian Al-Akhlaq al fardiyah).
“Untuk itu, prinsip-prinsip dasar etika yang dimaksud oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah perlu terus-menerus dicermati dan dikaji ulang, sehingga dapat diperoleh etos sosial baru yang dapat mendorong dan memotivasi orang untuk bertanggungjawab secara sosial dan ikut berbuat sesuatu dalam upaya menumbuhkan kesadaran pentingnya kesalehan sosial di lingkungan umat,” tulis KH. Tafsir yang Ia kutip dari Imron Rosyadi.
Nafas Gerakan Tajdid Muhammadiyah di Tengah Masyarakat yang Dinamis
Dalam rangka membuahkan kajian yang aktual, komprehensif dan radikal, KH. Tafsir dalam desertasinya melakukan analisis di beberapa pimpinan Muhammadiyah (PRM dan PCM) di Jawa Tengah. Sejauh bacaan penulis, upaya ini dilakukan agar mampu menjadi refleksi dan pengetahuan bersama, tentang implementasi konsep tajdid oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat yang heterogen.
Beberapa pimpinan Muhammadiyah yang KH. Tafsir pilih di antaranya : PRM Plompong, Kebumen; PCM Jatinom, Klaten; dan PCM Kaliwungu, Kendal.
Ketiga PRM dan PCM di atas, merupakakan representasi pengamalan konsep tajdid Muhammadiyah di tengah budaya lokal. Di mana, tidaklah mudah melakukan pembaharuan di tengah masyarakat, telebih lagi di Jawa Tengah yang masih syarat dengan kearifan lokal. Agaknya ketiga PRM dan PCM yang menjadi rujukan penelitian KH. Tafsir ini selain mampu melakukan pembaharuan di daerahnya, mereka juga mampu melakukan akulturasi dengan masyarakat sekitar; sehingga upaya-upaya tajdid yang dilakukan mampu eksis dan dapat berjalan dengan baik. Selengkapnya akan dimuat pada tulisan selanjutnya. (MTU)