RAGAM  

Lahir di Luar Nikah? Siapa Yang Boleh Menjadi Wali

Ilustrasi Gambar oleh Amrullah Ab dari Pixabay

WARTAMU.ID, Surakarta – Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Syamsul Hidayat mengatakan bahwa wali merupakan salah satu rukun akad dalam pernikahan. Hal tersebut berdasarkan QS. An-Nur ayat 32, QS. Al Baqsarah ayat 221, dan Hadis Nabi Saw yang menegaskan bahwa “tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Ahmad dan Abu Dawud), dan wali itu hendaklah seorang lelaki (HR. Daruquthni dan Ibnu Majah). Dikutip dari muhammadiyah.or.id

“Wali itu harus seorang lelaki. Sekarang siapa yang berhak dan boleh menjadi wali untuk suatu pernikahan? Dalam hal ini Majelis Tarjih mengenai perwalian merujuk pada Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa akad nikah dilaksanakan oleh wali nikah yang bersangkutan, dan wali bisa diwakilkan oleh orang lain,” ujar Syamsul Hidayat dalam Kajian Tarjih yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Selasa (05/10).

Dalam sejumlah ayat-ayat Al Quran, tidak ditemukan siapa saja yang boleh menjadi wali dan bagaimana urutannya. Karena itu para ulama mengqiyaskannya kepada urutan wanita yang menjadi mahram berdasarkan nasab (QS. an-Nisa’: 23), tetapi dipandang dari pihak laki-laki.

Syamsul kemudian menyebut urutan wali pernikahan tersebut di antaranya: 1) ayah dari pihak perempuan, kakek dan seterusnya keatas; 2) saudara laki-laki sekandung dari pihak perempuan, atau seayah; 3) saudara ayah laki-laki sekandung dari pihak perempuan, atau seayah; 4) anak dari saudara ayah laki-laki sekandung dari pihak perempuan, atau seayah.

“Jadi yang bisa jadi wali itu saudara laki-laki sekandung atau seayah. Kalau saudara laki-laki dari jalur ibu untuk jadi wali, itu tidak bisa. Bisanya adalah sekandung atau seayah. Jadi, wali nikah perempuan itu bisa kakaknya atau adiknya yang laki-laki,” terang Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini.

Jika kriteria 1 sampai 4 tidak ada, maka yang menjadi wali adalah wali hakim, yaitu wali yang diangkat oleh pemerintah berdasarkan hadis:

“Dari ‘Aisyah ra ia berkata: Bersabda Rasulullah saw: ‘Wanita manapun yang melakukan akad nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal itu) terjadi dukhul, maka wanita itu berhak mendapat mahar karena penghalalan farajnya. Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang tiadak mempunyai wali’”[Ditakhrijkan oleh empat imam hadis kecuali an-Nasa’i dan dinyatakan shahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim].

Dari pada itu ditetapkan bahwa anak yang lahir di luar nikah nasabnya dihubungkan kepada ibunya (Muttafaq ‘alaih). Seorang perempuan yang lahir di luar pernikahan yang sah, maka tidak memiliki wali nasab. Bagi perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, maka yang menikahkannya adalah wali hakim, berdasarkan hadis yang menegaskan “Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali.”

“Apabila tidak ada wali nasab, maka digantikan oleh wali yang diangkat pemerintah atau wali hakim. Ini diperkuat oleh Hadis ‘Aisyiyah. Dan inilah hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu di Kompilasi Hukum Islam bab ketiga pasal 20 ayat 2 menerangkan bahwa ada dua macam wali, yaitu wali nasab dan wali hakim,” kata Syamsul Hidayat.