Anies Baswedan Menjadi Gubernur, Jalan Pintas untuk Menjadi Presiden

Eddy Junaidi (Yayasan Kalimasadha Nusantara)

WARTAMU.ID, Humaniora – Mungkin banyak yang tidak sependapat dengan pandangan ini, khususnya pendukung Anies garis keras.

Menjadi pemimpin itu adalah hak yang melekat bagi seseorang, termasuk seorang Anies Rasyid Baswedan. Cerdas, simpatik, dan jago berkomunikasi,serta track record yang “gak kaleng-kaleng”.

Pada Pilpres 2024 nyaris menang, tapi kalah terhadap Prabowo Subianto walaupun embel-embel curang mewarnai kemenangannya. Kekalahannya sudah menjadi fakta dan sah secara hukum demokrasi prosedural.

Apa yang menjadi unsur utama Anies digandrungi? Mengusung ide “Perubahan”, karena rakyat sudah muak dengan status quo Prabowo Subianto yang berpasangan dengan “anak haram konstitusi” (karena peran ayahanda yang seorang Presiden). Hal ini yang menjadikan Prabowo Subianto dianggap sebagai penerus status quo sesuai “deal-nya” dengan Joko Widodo.

Anies berjaya karena mengusung ide Perubahannya sebagai “dagangan” Surya Paloh menjadi laku keras. Anies sempat besar kepala, dan yakin kemenangan sudah di tangan. Menurut orang-orang dekatnya, dan pihak yang sejak awal membantu, Anies dianggap berubah setelah setiap kampanye ke daerah dielu[1]elukan publik.

Perlu diketahui bahwa untuk pemenuhan syarat menjadi calon presiden, Anies bukanlah kandidat yang ideal dari segi parameter politik Indonesia semenjak politik transaksional ekses demokrasi one man one vote sekarang ini.

Unsur pertama adalah modal. Anies Baswedan tidak mempunyai modal, juga tidak punya bohir kelas kakap (triliunan Rupiah). Anies Baswedan adalah musuh pemilik modal (taipan) yang menjadi Soko Guru oligarki semenjak 2017 ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Unsur kedua, parpol yang pertama menjadi pengusung adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem), parpol yang awal berdirinya didukung oleh para taipan. Tercatat ada nama Jan Darmadi (bandar judi era Orde Baru), Tomy Winata – tentu dengan Aguan (Sugianto Kusuma), James Riyadi yang menjadi partner bisnisnya secara diam-diam.

Singkat kata, Nasdem adalah Soko Guru parpol berbau oligarki pendukung Joko Widodo, selain PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Terkesan dunia politik dan demokrasi dikelola bagai kartel politik, sehingga rakyat tercerabut kedaulatannya. Integritas parpol Anies diragukan termasuk PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), karena Muhaimin Iskandar (Cak Imin) merebut tahta PKB dari Gus Dur (pamannya) yang seharusnya milik Yenny Wahid.

Unsur ketiga, Anies Baswedan tidak bisa dan “tidak punya daya” mengontrol langsung fairness dari panitia pemilu; KPU dan Bawaslu.

Unsur berikutnya, jauh dari dukungan TNI/Polri (pengaman Pemilu) yang dalam kendali oligarki. Aneh memang politik Indonesia, karena rakyat yang seharusnya paling menentukan seolah hanya objek yang dikendalikan oleh power, dalam hal ini “modal”. Di sini Anies kuat didukung rakyat yang “rindu” perubahan dan sudah muak dengan Joko Widodo.

Prabowo Subianto sampai tiga kali gagal dalam Pilpres, karena unsur-unsur ini. Dia tidak lengkap maju sebagai calon presiden sejak 2009, 2014, dan 2019. Bahkan penulis yang terlibat penuh untuk kampanye di Jawa Timur, marah ketika rencana Prabowo yang sudah matang dan sudah terjadwal untuk kampanye 3 akbar di kota Malang tetapi harus pindah, karena Joko Widodo memanuver, minta kota Malang menjadi lokasi final President Cup kala itu. Lucu tapi ini terjadi, padahal Prabowo Subianto kurang kuat apa kala itu?.

Jadi Anies Baswedan semata-mata karena kapasitas figur dan mengusung ide “Perubahan” tapi lemah dari infrastruktur politik ala demokrasi Indonesia, pasca UUD 2002 dan faktanya dia kalah.

Anies Baswedan seharusnya Berjuang bersama Rakyat

Jika ingin tetap menjadi calon presiden yang ideal, merepresentasikan sebagian besar rakyat yang ingin perubahan, seharusnya Anies mau berkorban dan berjuang bersama rakyat menjadi oposisi non-parlemen. Jika ini dilakukan, kepemimpinannya akan teruji dalam empat tahun ini, dan pada 2029 dia akan menjadi salah satu calon terkuat. Dia harus menjadi pemimpin rakyat melawan oligarki. Dia harus mau memutarbalikan persyaratan politik oligarki karena uang semata agar kembalinya kedaulatan rakyat untuk demokrasi yang sehat.

Namun pilihan politiknya ingin kembali menjadi Gubernur. Kalau sekadar turun “derajat” bisa dimaklumi, tetapi tidak elegan. Kita tidak terima, kalau dia didukung oleh PDI Perjuangan, parpol yang harus menjadi paling bertanggungjawab atas kondisi negara ekses kegagalan Joko Widodo. Apalagi kolaborasi PDI Perjuangan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) aneh bin ajaib dari segi akal sehat, kecuali azas pragmatis ala Machiavellisme (Makiavelisme). Seperti menteri PKS era Abdurrahman Wahid (Gus Dur); Presiden PKS kala itu, yang setelah tidak menjadi Menteri, menjadi Wali Kota Depok. Atau Prabowo secara pragmatis masuk ke rangkulan Joko Widodo dan oligarki, tetapi dia sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029.

Kita bisa tunggu kiprah Prabowo Subianto pasca Oktober 2024, dia bagian dari oligarki atau seorang patriot yang menjadi pemimpin nasional yang bisa kita harapkan.

Sekarang Anies Baswedan mengambil jalan pintas lewat Gubernur agar tetap eksis sebagai pemimpin. Apa akan berhasil juga? Karena pada 2017 dia menang karena Ahok tersangkut kasus penistaan agama, dan menjadi musuh bersama (Islam) saat itu. Bisa dikatakan faktor gerakan 212 merupakan 70% penentu kemenangannya saat itu. Kalau sekarang? Belum tentu, karena pihak-pihak yang menjadi pendukung utamanya banyak kecewa tentang karakternya terutama kerendahan hati terhadap orang-orang yang berjasa pada dirinya. Paling mendasar adalah apa dedikasinya terhadap Islam, khususnya 212 setelah menjadi Gubernur?

Kenapa kita harus mengkritisinya? Kita tidak mau lagi pada 2029 memilih pemimpin yang keliru karena karakter utama dalam integritas seorang pemimpin. Kita tidak sekadar terpesona dengan kecerdasan, pintar orasi, dan punya gagasan belaka, karena saat ini oligarki lebih kuat dari kedaulatan rakyat. Kita mengharapkan dia sebagai pemimpin sejati, bukan pragmatis seperti sekarang ini.

Kita tahu ketika Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, toh akhirnya kalah dengan pengusaha reklamasi; Pantai Indah Kapuk (Aguan). Terakhir, Joko Widodo menetapkan proyek ini sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Jadi, dengan diusung PDI Perjuangan (jika terjadi) Anies mengkhianati rakyatnya karena partai ini Soko Guru Joko Widodo, walau pun saat ini mereka mengecam tetapi juga tidak berbuat banyak. Paling substansial alasannya, PDI Perjuangan sangat anti Islam, sedangkan Anies Baswedan didukung mayoritas Islam.

Seorang pemimpin yang mumpuni juga dimulai dari prosesnya. Jika ingin perubahan, harus bersama rakyat selama empat tahun ke depan ini, di Rumah Perubahan Indonesia yang menjadi ‘kapital’ untuk bertarung di Pilpres 2029. Memang perlu pengorbanan, tapi tidak sebanding dengan pengorbanan Soekarno-Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan M. Natsir, yang diakui di tingkat dunia. Malang benar bangsa Indonesia mendapat pemimpin seperti saat ini, cerminan rakyat Indonesia saat ini.

Pragmatisme sudah menjadi budaya, sehingga menghancurkan hakekat demokrasi itu sendiri. Sebelum Reformasi, hakekat demokrasi kita adalah “musyawarah dan mufakat”, demokrasi perwakilan (MPR – Majelis Permusyawaratan Rakyat), dengan one man one vote melanggengkan sistem oligarki.

Jika Anies Baswedan tidak mau, dan tidak berani berjuang bersama rakyat, lebih baik menjadi Menteri saja, seperti halnya Prabowo Subianto saat ini.

Jika Anies Baswedan bertarung di Pilkada DKI Jakarta 2024, terkesan memilih panggung untuk kendaraan Pilpres 2029, namun Prabowo Subianto yang menjadi Presiden-nya. Sebaiknya pendukung Anies Baswedan menimbang jika mau masuk ke sistem, menjadi Menteri saja sekalian, lebih tepat dari kapasitas dan kapabilitasnya.

Anies Baswedan tidak ideal untuk kategori pemimpin nasional, tetapi lebih tepat jika menjadi seorang Menteri (teknokrat).

Oleh: Eddy Junaidi

(Yayasan Kalimasadha Nusantara)